Informasi atas ketersediaan stok itu, disiarkan berulang-ulang oleh televisi dan tentu saja menyejukkan. Setidaknya menurunkan suhu panas yang diakibatkan oleh Tahun Politik 2018 yang mulai bereskalasi menjelang berakhirnya tahun 2017.
Tapi tiba-tiba Menteri Perdagangan muncul di televisi dan bersuara. Mengultimatum para pedagang beras. Mereka diminta untuk membuat laporan tentang stok yang mereka miliki. Para pedagang diminta untuk, melepas ke pasar semua stok yang mereka simpan di gudang.
Dengan mimik yang tidak seperti biasanya ramah dan simpatik, Menteri Perdagangan kelihatan marah dan berada dalam suasana genting. Dikatakannya, kekurangan beras yang menyebabkan kenaikan harga beras akan diatasi dengan cara mengimpor beras.
Penegasan Menteri Enggar, tentang solusi impor, kembali menyejukkan perasaan. Sebagai warga bangsa, bangga melihat ada anggota kabinet Presiden Joko Widodo yang begitu responsif, peka dan antisipatif.
Saya juga menganggap, Presiden RI Joko Widodo tidak salah merekrut eks politisi Golkar yang hijrah ke partai Nasdem ini.
Enggar, demikian panggilan akrabnya, yang berlatar belakang pengusaha – sejak diangkat menjadi Menteri di perombakan Kabinet Jilid II, memperlihatkan sikapnya yang selalu tanggap mengurus masalah perdagangan.
Sikap Enggar menunjukkan bahwa ia “sudah selesai” dengan semua persoalan pribadi termasuk Partai. Oleh sebab itu Enggar bisa mewakafkan dirinya, untuk bangsa dan negara.
Pada waktu yang berbeda tapi hampir bersamaan, Rizal Ramli, mantan Menteri Keuangan dan eks Kepala BULOG (Badan Urusan Logistik) memberi ulasan soal urusan impor beras di TVOne.
Ulasannya, ‘menohok’ Enggartiasto dan para petinggi di kalangan Kementerian Pertanian.
Impor bukan solusi. Dan Kementerian Pertanian harus lebih hati-hati memberikan data. Rizal minta agar angka yang disuguhkan oleh Kementan, jangan “berlebihan”.
Rizal juga bercerita tentang bahaya dari sebuah kebijakan impor. Pada saat ini menurut Rizal, sekalipun harga beras baik, Indonesia tidak perlu melakukan impor.