PERTAMA, menemukan isu yang paling bisa membantu kemenangan Trump dan citra buruk Hillary Clinton. Ditemukanlah aneka isu. Ada isu yang mencekam sebagian besar pemilih Amerika Serikat: ancaman Islam dan ketakutan akan terorisme.
Ada isu ancaman imigran baik dalam lapangan kerja domestik bagi warga Amerika ataupun kultur kekerasan yang mereka bawa. Ada isu skandal email Hillary Clinton ketika menjabat. Ada isu perselingkuhan suami Hillary Clinton. Ada isu LGBT.
Isu itu segera diubah menjadi senjata untuk diolah agar punya pengaruh elektoral yang signifikan.
KEDUA, menemukan segmen masyarakat atau grup yang paling mudah dipengaruhi oleh isu tersebut. Program algoritma komputer sudah canggih dan sampai di level itu. Maka masuklah kerja intelijen dalam jaringan virtual segmen pemilih yang rentan. Bahkan jika jaringan virtual untuk itu belum terbentuk, kerja intelijen bisa membentuknya.
Guardian misalnya telah menemukan aneka grup virtual hasil rekayasa. Ada grup anti imigran, Secured Borders yang diikuti 133 ribu follower. Ada grup Being Patriotic yang mengeritik pengungsi. Ada grup LGBT united atau Blackactivist soal isu homo dan gerakan kulit hitam.
Kadang cara menarik hati pemilih kulit putih yang anti kulit hitam bukan dengan seruan kepada kulit putih. Namun cukup dengan menciptakan akun aktif kulit hitam yang agresif sehingga pemilih kulit putih yang agak rasis menjadi militan menentang.
KETIGA, menciptakan akun palsu untuk sebar berita. TIME magazine misalnya menemukan akun seorang ibu rumah tangga Amerika Serikat berusia 42 tahun. Ia aktif memberikan opini politik. Ketika dilacak mendalam, ternyata itu akun seorang tentara Rusia yang berdomisili di Ukrania. Atau ada akun facebook yang sangat aktif menyebar isu pengungsi yang membelah publik Amerika. Setelah diteliti, ternyata ia dibuat oleh agen Rusia.
KEEMPAT, menciptakan aneka akun untuk membuat isu menjadi viral. Isu apapun yang dianggap punya efek elektoral mudah saja diviralkan melalui jaringan media yang sudah dirancang.
Demikianlah hari hari ini, Amerika terbelalak mata. Media sosial ternyata punya ruang gelap. Ruang gelap itu sudah digunakan kerja intelijen bahkan untuk mempengaruhi hasil akhir pemilu yang sangat penting: pemilu presiden.
-000-
Publik di Indonesia, aktivis, politisi, ulama dan pendeta, pejabat, polisi dan intel di Indonesia dapat menjadikan media sosial di Amerika Serikat sebagai kasus. Negara yang dulu paling canggih seperti Amerika Serikatpun bisa diperdaya.