Demokrat, Ken Dedes, Ken Arok, dan Moeldoko, Ada Hubungan Apa?

Ken Arok dikisahkan berayah Dewa Brahma dan beribu seorang petani biasa. Ken Arok lahir dilingkupi cahaya yang membuat ibunya takut dan meninggalkannya. Bayi Ken Arok kemudian ditemukan dan diasuh oleh seorang pencuri bernama Lembong.

Tentu saja Lembong mengajarinya keahlian mencuri. Tapi, di samping itu, Ken Arok juga jadi penggembala sapi. Hingga suatu hari, ia kehilangan sapi-sapi gembalaannya. Karena takut pada murka Lembong, Ken Arok lantas kabur.

Sejak itulah Ken Arok terjerumus lebih jauh ke dalam dunia kriminal. Bersama ayah angkat barunya bernama Bango Samparan, ia jadi penjudi. Ia juga menjalin persahabatan dengan pemuda bernama Tita dan memulai kiprahnya sebagai bandit desa.

Gara-gara ulahnya, sering kali Ken Arok jadi buronan Tunggul Ametung, penguasa Tumapel. Sewaktu jadi buron, Ken Arok dengan mudah bersembunyi di kampung-kampung petani.

Ken Arok menyaru dengan cara mengabdi pada seorang pengrajin emas bernama Mpu Palot. Ia bukannya tak pernah diceritakan tertangkap. Tapi, Ken Arok selalu dilepaskan ketika para penangkapnya mendapat suatu bisikan gaib.

Pararaton memperlihatkan meski kekuatan mistik itu jadi bagian dari diri Ken Arok muda, ia tidak sepenuhnya menguasainya. Karena itu Ken Arok ditakdirkan untuk bertemu dengan brahmana Lohgawe yang kemudian jadi pembimbingnya.

Melalui Lohgawe pula, Ken Arok mendapat akses ke kaum penguasa Tumapel. Berkat posisi Lohgawe itulah, Ken Arok akhirnya dikenal oleh Tunggul Ametung dan istrinya Ken Dedes. Ia juga berkawan dengan Kebo Ijo, seorang bangsawan Tumapel.

Relasi-relasi inilah yang kemudian dimanfaatkannya untuk panjat sosial dan bahkan merebut kekuasaan Tumapel. Ambisi Ken Arok nyatanya tak hanya menguasai Tumapel.

Tidak berapa lama, setelah itu Kerajaan Kediri yang dipimpin Raja Kertajaya limbung. Raja tersebut berseteru dengan para brahmana yang menolak tunduk.

Memanfaatkan situasi itu, Ken Arok menyerang Kediri. Kali ini ia tampil sebagai pembela hak kaum brahmana. Ia menang. Pada 1222, Kerajaan Singhasari memulai sejarahnya.

Membaca kisah Ken Arok, sebagai asal-usul mitos seorang perampok yang menjadi raja, mengandung unsur lain yang membentuk jatidiri sebagai preman masa kini, yang menjadi bagian atribut dan aspirasinya.

“Kemungkinan untuk memperoleh masa pensiun bermartabat dan mencapai kekuasaan,” tulis Jerome Tadie (hlm. 228).

Akhir cerita ini jelas menunjukkan bahwa relasi-relasi antara preman dan elite politik adalah fenomena kuno. Pola-pola itu terus berlangsung hingga kini, meski dengan konteksnya yang berbeda-beda seiring perubahan zaman.

Jadi, sebenarnya bukan hanya penguasa yang memanfaatkan para bandit untuk menegakkan kekuasaannya. Sebaliknya, bandit-bandit pun memanfaatkan relasi itu untuk tujuan-tujuan politik atau ekonominya sendiri.

Kembali ke soal KLB Partai Demokrat versi Moeldoko. Demokrat itu ibarat Ken Dedes, Ratu yang cantik, sehingga mendorong Ken Arok tertarik untuk “membajak” dari tangan Raja Tunggul Ametung, ia pun harus membunuh Raja Tumapel ini.

Dengan jabatan KSP, Moeldoko memanfaatkan “bandit” sekelas Muhammad Nazaruddin, untuk mendanai KLB di Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat, 5 Maret 2021. Hasilnya, Moeldoko ditetapkan sebagai Ketua Umum.

Saat ini semua mata terfokus pada Presiden Joko Widodo. Kebijakan politik apa yang akan dilakukan terhadap “Pembuat Gaduh” NKRI dan Perusak Citra PresidenRI dalam penegakan Demokrasi, Hukum, dan Pemerintahan Bersih anti-Korupsi