Demokrasi Telah Mati


Oleh : Ust. Fathuddin Ja’far

Hari-hari ini kita benar-benar diperlihatkan Allah bahwa *demokrasi sudah mati*. Ajaibnya, kematian demokrasi itu bukan hanya di tanah kelahirannya; Eropa dan Amerika,  tapi juga kita lihat di Indonesia negeri tercinta.

Demokrasi lahir di Indonesia sejak 79 tahun lalu menggantikan era kolonial 3.5 abad sebelumnya.

Demokrasi lahir di negeri kita melalui konspirasi jahat dan tipu muslihat kelompok sekular-nasionalis pimpinan Seotta beberapa saat sebelum deklarasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Tujuannya hanya satu, bagaimana syari’at Islam tidak terlibat mengatur kehidupan politik dan bernegara di negeri yang mayoritas pejuang kemerdekaan dan penduduknya beragama Islam.

Caranya, lakukan kebohongan dan tipuan agar 7 kata dalam Piagam Jakarta (Kewajiban menerapkan Syari’at Islam bagi para pemeluknya) segera dibuang sebelum deklarasi kemerdekaan RI 1945. Dengan demikian, Islam politik dan ajaran lainnya mati di negeri ini.

Kelompok Sekular-Nasionalis berhasil menghidupkan paham demokrasi di negeri ini bagaikan Samiri menciptakan patung anak sapi sebagai sesembahan/tuhan pengganti Allah di zaman Nabi Busa. Semua manut di hadapannya, tanpa ada yang berkutik.

Sejak itu, NKRI dipimpin dan dikelola dengan demokrasi melalui berbagai Presiden dan Era yang silih berganti.

Di zaman Orlanya Presiden Soekarno, sekitar 20 tahun, Indonesia dikelola dengan demokrasi yang membuka pelung sebesar-besarnya kepada paham komunisme dan sosialisme. Islam, syari’at dan para pejuangnya dihabisi dengan alasan bertentangan dengan demokrasi.

Zaman Orbanya Soeharto, selama 32 tahun, negara dikelola dengan demokrasi yang membuka pelung sebesar-besarnya kepada paham sekularisme, kapitalisme dan liberalisme. Islam dan syariatnya serta yang memperjuangkannya dihabisi tanpa ampun dengan jargon *Azas Tunggal Pancasila*

Nah, di zaman Era Reformasi yang sudah berusia 26 tahun, khususnya 10 tahun belakangan, negara dikelola dengan jargon *demokrasi* yang menggabungkan demokrasi ala Orla dan Orba. Sedangkan Islam, syari’at dan para pejuangnya tetap dihabisi dan dibantai tanpa ampun dengan segala cara.

Apakah dengan politik zalim dan sadis tersebut Islam, syari’at dan para pejuangnya berhasil dimatikan melalui demokrasi?

Hasilnya, seperti yang kita saksikan saat ini, malah *Demokrasi yang mati* di tangan Jokowi dan partai-politik hari ini.

Sebaliknya, Islam, syari’at dan para pejuangnya, kendati tidak punya partai politik resmi, tetap hidup segar bugar dalam hati para pencinta dan pejuang Islam dan syari’atnya. Fenomena menunjukkan, semakin hari, apalagi hari-hari ini, semakin bertambah jumlah pencinta Islam dan syari’atnya. Kalau mereka punya partai politik dan ikut berkompetisi dalam Pemilu, kemungkinan mereka menjadi pemenangnya.

Belajar dari sejarah negeri-negeri Islam yang mengalahkan kelompok-kelompok anti Islam sejak dari Indonesia tahun 1955, Al-Jazair 1992, Turki sejak 1994, Palestina 2007, Mesir 2012, rela kelompok Islam menang dengan cara demokrasi sekalipun? Jawabannya tentu TIDAK. Mereka para pemuja demokrasi akan menciptakan sejuta alasan untuk menggagalkan, mengkudeta, bahkan membunuh tokoh kemenangan Islam dan para pejuang lainnya.

Wal hasil, ajaib memang, kenapa demokrasi mati di dunia ini? Karena lahir dan hidup melalui kebohongan dan penipuan. Karena menipu dan berbohong -apapun bentuk kejahatan- dalam demokrasi tidaklah dianggap suatu dosa dan kesalahan selama yang menyuarakannya kelompok mayoritas (50+1) atau suka sama suka, atau bahkan jika ada imbalan harta atau jabatan, maka silahkan berbohong, menipu seterusnya.

Maka konsekuensinya, jika negara dan politik dibangun di atas demokrasi, maka tidak mungkin negara dan politik itu bisa bersih, jujur dan lurus, pasti banyak yang mengemasnya dengan kebohongan, kecurangan dan lain sebagainya.

Sebab itu, demokrasi itu lebih dahsyat pengaruh psikologisnya dari pada candu. Candunya setara dengan patung yang dibuat Samiri di zaman Nabi Musa alaihisslam.

Yang pinter, berpendidikan tinggi, yang kaya, yang berilmu, yang zuhud dan bahkan yang ahli dan paham Kitab Suci dan Hadist bisa terpapar candunya, tanpa terkecuali.

Itulah kehebatan patung ciptaan Samiri. Kendati tidak logis, tidak fitri dan tidak menentramkan sama sekali, namun pencintanya masih tetap ramai sepanjang masa.

*Saatnya umat Islam bangkit dan bersatu. Alangkah indahnya bila umat Islam memahaminya*

Semoga Allah selalu membimbing kita di atas jalan-Nya yang lurus.

*Depok 22 Agustus, 2024

Beri Komentar