Duel politik tak lagi bermutu. Gagasan dihapus oleh hiruk-pikuk ejekan. Sensasi dirayakan, esensi diabaikan. Rasa gagah memenuhi dada ketika ejekan disambut gempita oleh sesama pendukung. Sahut-menyahut di ruang sosial melambungkan kebanggaan kubu. Semacam ketagihan massal, ejekan menjadi obat perangsang politik. Suatu sensasi aphrodisiacmemompa adrenalin untuk memuaskan politik demagogi: “Aku mengejek, maka aku ada.” Megalomania di sana, hipokrasi di sini. Dua-duanya kekurangan pikiran.
Negeri ini didirikan dengan pikiran yang kuat: bahwa kemerdekaan harus diisi dengan pengetahuan, agar anak negeri tak lagi dibodoh-bodohi oleh kaum pinter dari luar. Kebodohan mengundang penjajahan.
Kemerdekaan adalah hasil siasat intelektual, oleh yang berbahasa, maupun yang bersenjata. Politikus dan pejuang tumbuh dalam kesimpulan yang sama, yaitu kemerdekaan adalah tindakan pedagogis.
Panglima Sudirman semula adalah seorang guru, lalu jadi jenderal.
Jadi, dari mana kita belajar demagogi?
Kendati suka memanfaatkan emosi massa, Sukarno bukanlah seorang demagog. Ia memang mengumbar retorika, tapi tetap dalam kendali logika yang kuat. Dalam sebuah pidato lapangan di depan barisan tentara, Sukarno mengucapkan kalimat kurang-lebih begini: “Saudara-saudara tentara, kalian adalah alatnya negara. Dan negara adalah alatnya rakyat. Jadi kalian adalah alatnya alat.” Bukan sekadar retorikanya bagus, Sukarno mengucapkannya dalam suatu silogisme. Suatu pelajaran logika, bagi rakyat.