Kemudian, mereka tinggal di rumah-rumah kontrakan berskala sempit. Tentu mereka ini bakal tidak dapat bantuan apapun, bahkan terancam terusir karena tidak mampu bayar kontrakan. Rumah kontrakan yang sambungan listriknya 450VA justru subsidinya diterima pemiliki rumah kontrakan.
Mereka ini akhirnya hidup gelandangan, yang ujungnya bisa memicu kriminalitas dan kerawanan sosial yang membahayakan masyarakat umum.
Karena itu, saya usulkan kepada pemerintah, agar pekerja informal yang nomaden dan tindak memiliki KTP tetap diberikan bantuan sosial, dengan cara:
Pertama, harus pendekatan basis komunitas RT/RW. Manfaatkan kembali Kartu Keterangan Domisili. Ketua dan perangkat RT/RW harus difasilitasi agar bisa mendata dan mendistribusikan bantuan kepada warga yang pekerja nomaden ini.
Bayangkan, ketika proses Pemilu 2019 yang lalu, banyak warga yang tidak memiliki KTP setempat, justru bisa berpartisipasi menggunakan hak pilihnya. Ada apa? Justru di masa efek wabah Covid-19, kok mereka tidak bisa mengakses bantuan, padahal ini bersoalan perut rakyat? Mestinya para politisi/parpol mendata dan mengadvokasi mereka supaya bisa mengakses bantuan. Parpol jangan “diam seribu bahasa”, berlagak pilon.
Kedua, pemerintah harus memberikan mereka ini program padat karya berupa pembangunan berbagai proyek di perkotaan dengan pendekatan tunai. Misalnya, beri pekerjaan pembersihan fasilitas umum, keindahan kota, pembersihan gorong-gorong, perbaikan saluran drainase, dan lainnya dengan tetap menggunakan protokol pembatasan fisik/sosial.
Kalau bisa alokasi anggaran pelatihan Program Pra Kerja dialihkan saja untuk program padat karya ini. Program ini lebih realistis dan bermanfaat, dibanding pelatihan-pelatihan online yang berbasis proyek formalistik dan gimmick.(end)
(Penlis: Mukhaer Pakanna, Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta dan Sekretaris MEK PP Muhammadiyah)