Selasa, perbatasan Libya-Mesir berdenyut dengan lalu lintas. Seorang tentara Mesir mengatakan, hari itu adalah hari tersibuk. Di mana, ia belum pernah melihat terjadi sebelulmnya. Ribuan orang menyeberang perbatasan dalam beberapa hari terakhir ini. Mereka yang menyeberangi perbatasan sebagian besar para pekerja Mesir.
Banyak diantara mereka yang mengekspresikan kemarahan atas kekejaman Presiden Libya Muammar Gadhafi. Para pekerja itu melarikan diri dari kota-kota di Libya, saat berlangsung horor dan kekejaman di jalan-jalan. "Orang ini adalah penjahat perang", ucap seorang warga Mesir sambil menangis, yang baru saja menyeberang ke negaranya. "Mereka menembaki rakyatnya dari pesawat", tambahnya
"Kami berangkat jam 5 pagi pagi ini, kami melihat banyak tembakan, banyak terjadi pembantaian", kata seorang pekerja konstruksi yang tiba bersama dengan orang-orang Mesir dari Tobruk, kota Libya sekitar 100 mil dari perbatasan.
Mereka datang dari kota-kota di Libya, tapi mobil mereka dilarang masuk, dan mereka berjalan kaki. "Saya melihat mereka menembaki rakyat di Benghazi, kota kedua terbesar, 500 mil sebelah barat perbatasan. Rakyat diantara ada yang menyerahkan diri kepada tentara sambil menganggkat tangan mereka, sebagai tanda menyerah", kata pria lainnya. Meskipun, kedua tangannya ke atas untuk menunjukkan tanda menyerah, tidak menghentikan tembakan tentara. "Mereka menembakkan senjata ke arah orang yang sudah menyerah", ujarnya. Mereka berteriak. "Ini pembunuhan yang sangat keterlaluan. Selama lima hari, para dokter di rumah sakit al-Gelaa di Benghazi tidak tidur", tambahnya.
Tenaga medis Mesir telah berada di perbatasan, menolong mereka yang datang meminta bantuan. Kelompok organisasi Sindikasi Dokter Mesir ‘adalah salah satu dari tim medis yang merespon dengan cepat dan pergi ke perbatasan dengan Libya. Satu kelompok terdiri 13 orang, melaluli Facebook mereka mengorganisir paramedis, yang sebagian besar dokter Mesir. Keberadaan mereka disertai dengan rombongan relawan Libya yang membawa senjata untuk perlindungan.
Selasa, mereka berencana untuk pergi ke Benghazi, dan ingin membantu mendirikan rumah sakit darurat, mereka pergi malam hari dari kota Salloum yang dekat dengan perbatasan. Kebanyakan dari mereka dengan sukarela bekerja di klinik darurat yang sebelumnya mereka telah bekerja di Tahrir Square, pusat revolusi Mesir, yang memuncak pada 11 Februari dengan pengunduran diri Presiden Hosni Mubarak. Mustafa, seorang apoteker yang menjadi anggota konvoi, mengatakan: "Kebanyakan orang yang ikut di sini, mereka dari rumah sakit di Tahrir Square. Jadi sangat menarik, seperti penyebaran revolusi", ucapnya.
Pada saat yang sama, Mesir berusaha melakukan evakuasi rakyatnya yang berada di Libya secepat mungkin. Ada yang 2 juta orang Mesir bekerja di Libya, ketika pemberontakan terhadap Muammar Gaddafi pecah. Banyak yang melarikan diri, karena mereka merasa terancam. "Setelah Gaddafi mengatakan bahwa beberapa orang Mesir dan Tunisia telah bekerja dengan kelompok revolusi dan memberi uang, orang-orang Mesir dan Tunisia ketakutan, sehingga mereka meninggalkan," kata Gamal Shallouf, seorang anggota oposisi yang menentang Gaddafi di Tobruk.
Di sisi perbatasan Mesir, jasa angkutan bus membanjiri daerah perbatasan, mereka berteriak, "Alexandria!" "Kairo!". Kelompok laki-laki muda bergegas keluar dari gerbang dengan koper di bahu mereka. Setiap orang memiliki sesuatu untuk mengatakan kepada kelompok pertama dari wartawan asing yang telah tiba di Salloum, kota Mesir di perbatasan. Sebagian besar menunjukkan kemarahan atas kebrutalan Qaddafi’s. Tetapi ada orang lain keluar dari perbatasan dengan menghela napas lega. Sebuah truk penuh pekerja Asia dan membawa semua harta benda mereka, mereka terus mendorong barang bawaan mereka di antara kerumunan tanpa henti. Orang-orang dalam truk berteriak bahwa mereka insinyur, tapi tidak jelas apa kebangsaannya.
Orang Mesir yang kembali ke negara mereka ada rasa solidaritas. Orang Mesir, kembali ke tanah air, karena muncul di tengah revolusi. Jelas merasa seperti berada di tengah-tengah orang Libya, di mana mereka berada di tengah-tengah perjuangan mereka. "Orang Libya dan Mesir adalah satu," kata seorang pekerja Mesir bernama Reda. Mereka saling bahu membahu. Tidak ada perbedaan diantara mereka. "Kami melindungi satu sama lain", ujar mereka.
"Semua kita memiliki teman Mesir," kata Shallouf di Tobruk. "Dan banyak teman saya berada di Qa’id Ibrahim Square di Alexandria. Mereka mengatakan kepada kita bahwa kita bisa melakukannya.." Ia menambahkan: "Orang-orang Mesir mendukung kami dengan menelepon dan dengan perasaan persaudaraan yang kental, seperti bagaimana kita mendukung mereka. Hari-hari mereka, beberapa orang Mesir pergi ke kedutaan Libya untuk mendukung aksi yang dilakukan oleh saudara mereka yang ada di Libya. Kita di sana mendengar di telepon dan Al Jazeera.. Beberapa teman memanggil saya dan mengatakan kepada saya. "
Apoteker Marwan mengatakan bahwa ia dan rekan-rekannya sesama sukarelawan hanya benar-benar berkomunikasi dengan rekan-rekan Libya mereka pada hal-hal pasokan bantuan. Mereka mengangkut dua truk obat-obatan, dan satu truk selimut. Mereka tidak membahas politik. Tapi itu benar-benar pergi tanpa berkata,"Nah, ini politik," katanya.
"Setiap orang setuju bahwa apa yang terjadi adalah sangat mengerikan, Gaddafi menghantam mereka dengan pesawat.. Dia orang gila total." Tapi dia menganggap apa yang terjadi dan ada hubungan dengan apa yang terjadi di Mesir, dan apa yang dia dan teman-temannya lakukan untuk menghubungkan satu titik dengan titik lainnya.
Mungkin revolusi ini lebih keras dari kita," kata Marwan, "Tetapi efek riak sudah sangat cepat. Waktunya untuk mengubah dunia Arab, dan saya pikir ketika kita selesai Libya, kami akan pergi ke Arab Saudi!" (mhi/tm)