Saat pileg, para pemodal tabur uang. Kabarnya, ada ratusan anggota dewan terima milyaran dana dari para pemodal itu. Mulai biaya survei, beli alat peraga, operasional kampanye, serangan fajar, sampai untuk menyuap petugas pemilu dan Bawaslu. Begitulah sistem kerjanya.
Ada yang modal sendiri? Pasti ada! Secara jumlah, boleh jadi tak sebanyak yang pakai modal orang lain. Ini hipotesis. Silahkan kesimpulan ini di-cross ceck benar-salahnya. Mahasiswa bisa jadikan ini sebagai obyek penelitian untuk skripsi, tesis atau disertasi.
Wajar jika produk hukum itu seringkali terasa gak rasional. Titipan bro! Dari mana? Pemodal. Gimana nasib rakyat dan bangsa? Sesekali anggota dewan perlu marah-marah ketika sidang. Biar dianggap pro rakyat.
Belum lagi faktor penegak hukum. Hulu sampai hilir suka gak bebas dari transaksi. Markus! Makelar kasus ada dimana-mana. Sudah jadi lahan bisnis. Setiap pasal ada harganya.
Kenapa jadi begitu? Para pemodal cerdas. Bisnis dengan sistem ijon. Cari orang-orang yang berpotensi jadi pejabat di institusi hukum untuk 10-30 kedepan. Beli integritas dan loyalitas mereka. Saat mereka menjabat, semua bisa diatur. Jangan harap anda menang perkara melawan para pemodal. Bisa, tapi susah! Kecuali anda penguasa.
Tak hanya parlemen dan lembaga hukum yang bermasalah. Eksekutif juga tak lepas dari masalah. Emang istana bisa bebas dari intervensi para pemodal? Kampanye di pilpres itu besar biayanya bro! Bisa puluhan triliun. Dari mana dana itu? Ya, dari pemodal. Emang gratis? Kagak! Jadi, kalau ada kementerian dijabat oleh seorang pemilik modal, ya jangan kaget. Itu biasa.
Belum lagi kepala daerah. Gubernur, bupati dan walikota juga butuh modal saat pilkada. Peluang para pemodal terbuka. Kesempatan mereka berternak uang di dunia politik. Hasilnya berlimpah. Jauh lebih besar dan lebih cepat dari bisnis biasa. Gak perlu kaget kalau ada hasil penelitian bahwa 60 persen kekayaan orang-orang terkaya di Indonesia didapat melalui akses kekuasaan. Anda pasti tak keberatan untuk mengaminkan kesimpulan ini.
Yang unik, banyak profesor dan kaum akademisi mendukung keadaan ini. Bahkan ikut numpang cari makan dengan menduduki suatu jabatan dan posisi. Terasa terhormat. Popularitas naik dan dapat menambah portofolio. Mereka tak sadar, bahwa posisi itu salah satu tugasnya adalah jadi tukang stempel kebobrokan negara.
Jadi, New Normal dalam situasi pandemi, itu soal kecil. Tak perlu risau dan banyak dipersoalkan. Justru yang jadi persoalan, dan ini sangat serius adalah bagaimana membangun New Indonesia? Gimana caranya? Perbaiki tiga lembaga di atas. Eksekutif, legislatif dan lembaga hukum. Jauhkan mereka dari mafia pemodal, maka akan ada New Indonesia. Indonesia yang sumberdaya alamnya bisa dinikmati rakyat secara adil karena produk hukumnya dibuat dan ditegakkan untuk melindungi rakyat. (*)
Jakarta, 3 Juli 2020
Penulis: Dr. Tony Rosyid