Pasti rupiah langsung terjun bebas.
Maka Prof. Didik menawarkan jalan kompromi: cetak uangnya sedikit dulu. ”Kalau harus cetak uang, haruslah bertahap. Sedikit-sedikit dulu,” ujar Prof Didik.
Misbakhun pun setuju dengan usul itu. Ternyata Misbakhun juga bisa mendengarkan ide dari Prof. Didik itu.
Belum selesai. Persoalan pun timbul. Tidak kalah krusialnya. Siapa yang mendapat prioritas mendapatkan uang yang ”sedikit” itu?
Kalau cetak uangnya sedikit, untuk UKM pun tidak cukup. Apalagi menjangkau yang besar.
Kalau hanya sebagian kecil UKM yang bisa mendapatkannya: siapa yang sedikit itu? Siapa yang menentukan?
Rasanya cetak uang pun ternyata akan menemukan jalan buntu –di tingkat pelaksanaan. Kecuali, tidak usah mempertimbangkan fair atau tidak, adil atau tidak.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pun rupanya sudah membayangkan kesulitan di tingkat detail seperti itu.
Tapi lantas apa?
Sudah jelas, mencari pinjaman juga sulit. Mengeluarkan obligasi tidak lagi laku.
Kementerian Keuangan pun memutuskan untuk cari jalan lain: menjual obligasi ke Bank Indonesia. Menurut Prof. Didik nilai obligasi itu mencapai Rp 150 triliun.
Apakah boleh pemerintah menjual obligasi dan menugaskan BI agar membelinya?
Sebenarnya itu sama saja dengan Kementerian Keuangan memerintahkan BI untuk mencetak uang. Sebanyak Rp 150 triliun itu.
Tentu BI akan menolak permintaan seperti itu. Selama ini BI berpegang pada UU yang mengatur dirinya. Yang melarang perbuatan seperti itu.
Tapi pemerintah kini menerobos aturan itu. Dengan cara yang kita semua sudah tahu: lewat Perppu baru, yang disahkan kemarin itu.
Ups… Serba sulit.
Berarti tidak lagi hanya politisi (DPR) yang berhadapan dengan teknokrat di pemerintahan. Teknokrat yang di kementerian pun harus berhadapan dengan teknokrat yang ada di Bank Indonesia.
Belum ada jalan keluar.
Bagi kita, ternyata lebih enak kalau Tung Desem saja yang kembali beraksi: menyebar uang kontan dari udara. (end)
Penulis: Dahlan Iskan