Sekarang sudah berbeda dengan zaman tahun 1956. Ketika itu pemerintah bisa memerintahkan cetak uang. Sekarang tidak bisa lagi. Bank Indonesia itu independen.
Bahkan Bank Indonesia sendiri tidak bisa cetak uang begitu saja. Bank Indonesia itu diadakan dengan tugas khusus yang tunggal: menjaga nilai mata uang rupiah.
Tidak ada lagi tugas lain dari BI. Tugas lamanya yang satu itu –sebagai Stasiun Balapan, lender of the last resort– sudah dihapus.
BI tidak boleh lagi jadi sandaran akhir bank-bank pelaksana. Tidak ada lagi sumber dana yang dulu disebut ”Bantuan Likuiditas Bank Indonesia” itu. Bank yang mengalami kesulitan uang sudah punya tempat sendiri untuk meminjam.
Itulah sebabnya tidak mudah bagi BI didesak untuk cetak uang. Setiap cetak uang pasti akan memerosotkan nilai mata uang rupiah –inflasi.
Kalau sampai itu terjadi berarti BI telah gagal melakukan tugas satu-satunya.
Tapi tanpa cetak uang BI kan juga gagal menjaga nilai mata uang? Bulan lalu? Sampai satu dolar menjadi Rp 16.000?
Orang seperti Mukhamad Misbakhun akan menggunakan lubang seperti itu untuk berargumentasi. ”Harus saya akui Misbakhun sangat pintar,” ujar Prof. Didik Rachbini dari INDEF kepada saya kemarin.
Prof Didik, Misbakhun, dan saya memang jadi pembicara dalam Webinar Sabtu lalu. Soal ekonomi pasca Covid-19. Yang diadakan oleh Pengurus Pusat KB PII –organisasi alumnus Pelajar Islam Indonesia.
Di situlah Misbakhun menjelaskan konsep pemikirannya untuk cetak uang. Yang kemudian menjadi sikap DPR. Sedang Prof Didik Rachbini menjelaskan bahayanya cetak uang.
Di forum KB PII itu, sikap Misbakhun jelas: BI harus cetak uang.
”Ia pinter. Ia tidak menyebut cetak uang. Ia menamakannya quantitative easing,” ujar Prof. Didik. ”Seperti di Amerika saja,” tambahnya.
Menurut Misbakhun, hasil cetak uang itu disalurkan ke bank-bank pelaksana. Dipinjamkan ke bank. Sebagai pinjaman khusus. Dengan bunga khusus –yang sangat murah. Bahkan harus 0 persen –karena BI tidak boleh berbisnis.
Lantas bank meminjamkan dana itu ke pengusaha. Dengan bunga sangat murah. Misalnya 2 persen.
Pengusaha lantas menggunakannya untuk menggerakkan perusahaan –menciptakan lapangan kerja.
Ekonomi pun bergerak.
Sampai di sini akan terjadi perdebatan yang panjang: pengusaha mana yang bisa mendapat kredit khusus dengan bunga khusus itu.
Untuk UKM? Perusahaan umum? Perusahaan besar? Atau siapa saja yang selama ini punya pinjaman ke bank yang tidak bisa membayar –karena Covid-19?
Bagaimana dengan perusahaan yang sebelum ada Covid-19 pun sudah sempoyongan?
Belum lagi: berapa sebenarnya kebutuhan uang semua pengusaha besar dan kecil itu? Agar cetak uangnya cukup?
Lalu: siapa yang akan menghitung kebutuhan uang itu? Lewat mekanisme apa? Mekanisme bank?
Kalau ternyata kebutuhan itu, misalnya, mencapai 2.000 triliun rupiah, apakah BI akan cetak uang sebanyak itu?