Kalau pun ada tekanan, yang sekarang bukan hal baru, karena Mata Najwa bukan kali ini saja fokus pada satu isu dan menekankannya secara berkali-kali. Soal PSSI, Setya Novanto, pengistimewaan koruptor, hingga pelemahan KPK, misalnya, Mata Najwa juga sangat jelas posisi dan fokusnya.
Tekanan karena tayangan kursi kosong kemarin masih dalam batas wajar. Ada yang mendukung dan ada yang keberatan, dan ada yang menyampaikan secara langsung. Masih dalam batas kewajaran. Masih bagian dari percakapan menyangkut topik-topik kepublikan. Diskusinya masih cukup sehat, saya kira.
Bahkan saya membaca beberapa kritik (baik positif maupun negatif) dari komunitas akademik ilmu komunikasi. Saya senang ini membuka ruang diskusi tentang jurnalisme. Jurnalisme memang perlu terus didiskusikan. Dunia terus berubah, teknologi berkembang sangat cepat, sehingga pendekatan-pendekatan baru perlu dibuka kemungkinannya agar jurnalisme terus relevan karena ia penting dalam demokrasi.
Apakah acara itu sudah/akan disiarkan TV?
Tidak. Tayangan kursi kosong kemarin itu hanya memakai set Mata Najwa yang biasa dipakai on air di televisi, tapi hasil pengambilan gambarnya tidak ditayangkan di TV, melainkan di kanal media sosial seperti YouTube, Instagram, dll.
Apakah ada respons (dan seperti apa) dari menkes atau kemenkes?
Sampai saat ini belum ada respons. Dan kami masih menunggu. (Naskah ini mestinya terbit tiga hari lalu, tertunda karena isu Presiden Trump –Disway 1-2 Oktober). Tentu saya berharap Pak Terawan bersedia hadir di Mata Najwa, namun kalau Pak Terawan maunya di platform atau program lain, juga tidak apa-apa. Sama saja, kok. Yang penting kebutuhan publik akan penjelasan yang padu dan transparan bisa terpenuhi.
***
Tentu saya kenal Najwa. Dengan gaya khas memotongnya itu. Beberapa kali saya tampil di Mata Najwa –termasuk bersama Ahok dan Bu Susi.
Tentu juga saya kenal dr Terawan. Begitulah orangnya. Kerja dalam senyap. Tidak mau menanggapi apa pun kontroversi mengenai dirinya.
Begitu pula sikapnya saat masih berpangkat kolonel. Yakni saat Terawan menemukan dan mempraktikkan teknik brain wash dalam mengatasi penyumbatan saluran darah dalam otak.
Waktu itu Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mempersoalkan dengan serius apa yang dipraktikkan Terawan. Ia dianggap melanggar prinsip kedokteran. Tapi ia tidak mau menanggapinya. Ia pun dipecat oleh IDI.
Begitu ributnya soal brain wash Terawan waktu itu. Sampai-sampai saya sendiri ingin mencobanya. Padahal, waktu itu, saya tidak punya keluhan apa-apa.
Saya pun berbaring di meja operasi. Pangkal paha saya sudah disiapkan untuk disayat. Dokter Terawan memegang pisau. Lalu menyanyikan lagu Ada nama Ibu dalam doaku. Suaranya enak. Nadanya benar. Saya menjadi fokus di lagu itu. Tahu-tahu pangkal paha saya sudah tersayat. Tidak terasa.
Begitulah cara Terawan bekerja.
Ia pun memasukkan kateter dari pangkal paha itu. Untuk didorong menuju otak –melalui dada dan leher. Kateter itu memasuki saluran-saluran darah di dalam otak. Saya pun konsentrasi penuh merasakan apa yang terjadi. Tidak terasa apa-apa, kecuali ada sensasi-sensasi dingin pyar-pyar ringan di dalam otak.