Lalu ia pindah ke bisnis properti. Di sini ia mulai sukses. Beneran. Lalu jadi politisi. Jadilah anggota DPR. Jadi menteri keuangan. Dua kali pula. Periode pertama selama 8 tahun. Lalu digantikan oleh Anwar Ibrahim.
Saat krismon tahun 1998 Mahathir bertengkar dengan Anwar. Soal cara mengatasi krisis. Anwar ingin Malaysia minta bantuan IMF. Mahathir tidak mau. Anwar dipecat. Digantikan oleh Daim lagi. Padahal Anwar sudah digadang-gadang bakal jadi calon penggantinya. Jabatannya pun sudah wakil perdana menteri. Merangkap menteri keuangan. Kini Mahathir berkuasa lagi.
Mahathir tetap seperti dulu. Mengutamakan akal sehat: saat ini Malaysia perlu investasi asing. Yang besar. Untuk menghidupkan kembali perekonomian Malaysia. Yang lagi di bibir jurang itu. Juga untuk memulihkan kepercayaan asing.
Sayangnya perjanjian proyek itu sudah mengikat Malaysia: kalau batal begitu saja Malaysia harus membayar kompensasi besar. Syarat itu sudah ditandatangani Najib Razak. Yang kalah di Pemilu hampir setahun lalu.
Waktu itu Najib komit. Untuk membangun kereta cepat sejauh 680 Km. Sejauh Jakarta ke Surabaya. Mulai dari pantai Barat Malaysia. Memotong ke pantai timur Terengganu. Lalu menyusuri pantai ke arah utara. Berakhir di Kota Bahru. Ibu kota negara bagian Kelantan. Dekat perbatasan dengan negerinya Jirayut itu.
Saya pernah menyusuri jalur ini. Juga sampai ke Pattani di Thailand. Kawasan pantai Timur ini memang jauh tertinggal dari Barat.
Bagi Malaysia kereta ini nanti akan lebih berperan di angkutan barang. Untuk membawa hasil bumi di Timur ke pelabuhan besar Port Klang di Pantai Barat. Jalan darat. Tidak lagi harus melewati perairan Singapura.
Bagi Tiongkok lebih penting lagi. Inilah potongan jalur kereta Asia. Yang menghubungkan Singapura ke seluruh dunia. Lewat Tiongkok.
Mahathir memang negosiator ulung. Demi negerinya. Ia tahu proyek itu mahal. Tepatnya: kemahalan. Ia tahu hitungan. Seperti Pak JK. Pun ia menangkap ada aroma lain mengapa proyek itu mahal. Ada mark up. Untuk kepentingan Pemilu. Agar Najib terpilih lagi.
Tapi bukan alasan mark up itu yang dipakai Mahathir untuk nego. Mahathir pilih blak-blakan. Apa adanya.
“Ekonomi Malaysia lagi sulit. Tidak akan kuat membayar hutang sebanyak itu,” ujar Mahathir selalu.
Kalau alasan mark up yang dipakai akan sulit. Secara hukum maupun psikologis. Secara hukum toh sudah disetujui. Secara psikologis akan menyinggung Tiongkok: Anda nyogok!