Tahun lalu, Wakil Perdana Menteri Singapura yang juga Menteri Keuangan, Heng Swee Keat dalam sebuah pidatonya menggambarkan apa yang terjadi antara AS dan China. “Ini adalah kompetisi strategis antara dua kekuatan utama —petahana dan yang baru muncul–untuk memperebutkan pengaruh dan kepemimpinan global…. Apa yang terjadi juga menggambarkan tentang perbedaan dalam sistem tata kelola dan bagaimana mengorganisasi masyarakat mereka, yang bersumber dari sejarah, budaya, dan nilai-nilai mereka sendiri” (Yuen Foong Khong, 2020).
Dulu, ketika terjadi Perang Dingin antara AS (Barat) dan Uni Soviet, kedua kekuatan tersebut berusaha menunjukkan pada dunia sistem ekonomi dan pemerintahan mana yang lebih unggul, lebih superior. Unjuk kekuatan itu tertangkap dalam perlombaan senjata, juga perlombaan di bidang luar angkasa—Soviet meluncurkan Sputnik, AS punya program Apollo—lalu krisis Rudal Kuba (peristiwa Teluk Babi), persaingan di Perang Korea, Perang Vietnam hingga krisis Yom Kippur 1973 saat terjadi Perang Arab-Israel.
Pada akhirnya, persaingan itu mencapai puncaknya ketika Uni Soviet bubar (1991). Ini berarti kemenangan di tangan AS. Perang Dingin berakhir. Francis Fukuyama malah menyebutnya sebagai “akhir sejarah.” Komunisme mati. Demokrasi liberal, menang.
Kini, di panggung ada dua kekuatan besar: AS dan China. AS sebagai incumbent adikuasa. Sementara China, sedang muncul sebagai adikuasa. Sudah barang tentu terjadi persaingan. Sebagai kekuatan baru—terutama dalam bidang ekonomi—China tentu tidak ingin hanya menjadi nomor dua, duduk di belakang AS. China tentu ingin menjadi nomor satu. Mereka sudah membuktikan mampu memakmurkan rakyatnya yang lebih dari satu miliar jiwa.
Maka terjadilah persaingan strategis di antara mereka. Persaingan strategis itu beraneka ragam. Meskipun persaingan strategis itu berakar terutama pada upaya untuk keunggulan ekonomi dan penguasaan teknologi, namun memiliki komponen militer dan ideologis yang semakin penting. Di tengah pandemi Covid-19 ini, persaingan mereka semakin kentara, semakin nyata.Tetapi pada akhirnya mungkin muncul pertanyaan mendasar: Negara mana yang memiliki konsep pengaruh yang lebih berkelanjutan?
Awal bulan ini, koran South China Morning Post (5/5), misalnya, memberitakan hubungan AS-China dalam beberapa hari terakhir telah mundur secara dramatis (setelah pandemi Covid-19). Hal tersebut telah meyakinkan para penasihat dan mantan penasihat pemerintah saat ini di kedua belah pihak bahwa hubungan bilateral telah jatuh ke titik terendah dalam beberapa dekade belakangan ini.