Kabar gembira lain berupa dianggarkannya dana untuk perlindungan sosial. Antara lain, dinaikkannya jumlah Kartu Sembako dari Rp 150.000 menjadi Rp 200.000 selama sembilan bulan. Jumlah penerimanya juga naik dari 15,2 juta menjadi 20 juta.
Begitu juga dengan anggaran Kartu Prakerja, dinaikkan dari Rp 10 triliun menjadi Rp 20 triliun. Jumlah ini bisa menjangkau sekitar 5,6 juta pekerja informal, pelaku usaha mikro dan kecil. Yang tidak kalah menggembirakan, ada pembebasan biaya listrik selama tiga bulan untuk 24 juta pelanggan listrik 450VA. Sedangkan untuk 7 juta pelanggan 900VA ada diskon 50%. Khusus dukungan logistik sembako dan kebutuhan pokok, pemerintah menyediakan anggaran sebesar Rp25 triliun.
Ngutang Lagi
Sampai di sini, semua kebijakan tersebut tentu saja amat menggembirakan. Namun senyum lebar tadi berubah jadi kekhawatiran baru. Betapa tidak, anggaran yang Rp405 triliun tadi, ternyata bukan bersumber dari realokasi anggaran. Lantas dari mana? Dari mana lagi kalau bukan (rencana) membuat utang baru.
Tidak percaya? Simak baik-baik pernyataan Joko saat mengumumkannya siang tadi, yang di antaranya dia mengatakan, “ Terkait penanganan Covid19 dan dampak ekonomi keuangan, saya menginstruksikan total tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 untuk penanganan Cofid-19 adalah sebesar Rp 405,1 Triliun.”
Pada bagian lain, Presiden mengatakan, “PERPPU juga mengantisipasi kemungkinan terjadinya defisit yang diperkirakan akan mencapai 5,07%. Karena itu perlu relaksasi kebijakan defisit APBN di atas 3%. Namun relaksasi defisit hanya untuk tiga tahun, yaitu tahun 2020, 2021, dan 2022. Setelah itu kembali ke disiplin fiskal maksimal defisit 3 % mulai tahun 2023.”
Uraian tersebut jelas sekali menunjukkan akan ada utang baru untuk membiayai anggaran perlindungan sosial dan stimulus ekonomi dalam menghadapi wabah Corona. Pertanyaannya, mengapa tidak menggunakan anggaran yang sudah ada? Bukankah bisa dilakukan realokasi anggaran yang dianggap tidak atau kurang penting?
Memang, dalam penjelasannya Joko mengatakan pemerintah tetap berupaya menjaga pengelolaan fiskal yang hati-hati melalui refocusing dan realokasi belanja untuk penanganan Covid-19. Misalnya, dengan realokasi cadangan dan penghematan belanja kementerian dan belanja senilai Rp 190 Triliun.
Dari penjelasan ini, maka setidaknya akan ada tambahan utang baru di luar yang sudah direncanakan semula sebesar Rp 405 triliun – Rp 190 triliun = Rp 215 triliun. Asal tahu saja, desifit APBN 2020 sebesar Rp 302,1 triliun. Dari mana menutupi defisit ini? Jelas ngutang, lah. Artinya, guna mengatasi wabah Corona, total rencana utang kita bakal membengkak menjadi Rp 517,1 triliun!
Tidak Perlu Utang Baru
Pertanyaannya, benarkah tambahan utang baru itu diperlukan? Jawabnya, tidak perlu. Tidak adakah cara lain? Jawabnya, tentu saja ada!
Caranya, pemerintah merealokasikan anggaran pembayaran bunga utang yang Rp295 triliun plus cicilan pokok utang Rp359 triliun. Jika 50% saja total anggaran untuk membayar utang yang mencapai Rp 654 triliun direalokasikan, maka ada dana Rp 327 triliun yang bisa dipakai. Banyak, kan?
Lalu, pemerintah juga bisa merealokasi 50% anggaran insfrastruktur yang mencapai Rp 419 triliun, sehingga diperoleh angka Rp 209,5 triliun. Masih ada lagi, yaitu penghematan 20% anggaran belanja kementerian dan lembaga (K/L) yang mencapai Rp 1.600 triliun. Dari sini, ada penghematan Rp 320 triliun. Lalu, ada SAL dan SILPA yang angkanya lumayan gede, Rp 240 triliun.