Sejak itu tercipta kelas atas masyarakat yang didominasi kelas kaya Tionghoa. Alm. Arief Budiman, seoarang intelektual aktivis keturunan Tionghoa, pernah mengatakan orang Tionghoa kaya tidak disebabkan budaya atau rasnya yang lebih superior dari Pribumi tapi lantaran mereka diberi kesempatan untuk menjadi kaya, baik yang dilakukan penjajah Belanda maupun penguasa Pribumi. Tak heran, dalam rangka mempertahankan status quo, kebanyakan warga Tionghoa mendukung keberlangsungan kekuasaan Hindia Belanda. Bahkan, mereka membentuk pasukan “Poa An Tui” yang dipersenjatai Belanda untuk menggembosi kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada 1945.
Melihat dominasi ekonomi warga Tionghoa yang sebagian besar masih mempertahankan dwikewarganegaraan, pada 1959 rezim Soekarno mengeluarkan PP 10 yang membatasi aktivitas ekonomi Tionghoa hanya di kota-kota saja untuk memberi kesempatan Pribumi mendapatkan akses ekonomi di tingkat kecamatan dan desa. Ini bukan perlskuan diskriminasi tapi upaya menegakkan keadilan bagi Pribumi. Memang tidak masuk akal Pribumi yang miskin dan terbelakang di bidang sosial disuruh berkelahi secara bebas dengan warga Tionghoa yang sudah dikayakan oleh Belanda dan memiliki keunggulan pendidikan.
Rezim Soekarno juga memaksa warga Tionghoa memilih satu kewarganegaraan saja: warga negara Indonesia atau Cina. Banyak warga Tionghoa memilih warga negara Cina dan kembali ke negeri leluhur mereka. Bagaimanapun, PP 10 hanya bertahan dua tahun dan warga Tionghoa kembali melakukan aktivitas ekonomi sampai ke pelosok-pelosok negeri ini.
Ketika Orde Baru berdiri, Presiden Soeharto kembali mengadopsi kebijakan Belanda dengan menjadikan warga Tionghoa sebagai perantara dalam membangun ekonomi negeri. Soeharto beralasan, hanya warga Tionghoa dengan kemampuan ekonominya yang mampu membantu rezim melaksanakan kebijakan ekonominya.
Namun, alasan yang lebih utama adalah alasan politik. Soeharto takut memperkaya kaum Muslim yang dipandang dapat menggoyang rezimnya. Sedangkan kalau warga Tionghoa kaya, selain tidak mengancam kekuasaan rezim, juga mereka dapat ditekan untuk kepentingan rezim. Misalnya, memaksa mereka menyumbang untuk kampanye politik rezim dalam pemilu. Maka, kita menyaksikan menjamurnya kelompok konglomerat yang umumnya warga Tionghoa.
Keberpihakan penguasa Belanda dan Pribumi pada warga Tionghoa di bidang ekonomi inilah yang semakin kuat menciptakan kecemburuan sosial Pribumi terhadap Tionghoa. Karena itu, tak terhitung banyaknya kerusuhan sosial anti-Tionghoa terjadi di hampir seluruh daerah di negeri ini sepanjang sejarah Indonesia. Di penghujung era Orde Baru, massa menyerang pertokoan Tionghoa di mana-mana sebagai bentuk penolakan terhadap dominasi ekonomi etnis ini yang dipupuk Soeharto. Yang terakhir, 2016, massa membakar 11 klenteng Tionghoa di Tanjung Balai, Sumatera Utara, sebagai protes terhadap campur tangan seorang warga Tionghoa terhadap peribadatan kaum Muslim.
Bentuk penolakan terhadap Tionghoa juga ditunjukkan Kesultanan Yogyakarta yang hingga hari ini menolak kepemilikan tanah bagi warga Tionghoa akibat hubungan buruk Kesultanan dan warga Tionghoa pada masa perjuangan kemerdekaan. Waktu itu, sebagaimana di tempat lain, warga Tionghoa mendukung kembalinya Belanda ke tanah air. Di Sumatera Barat, di kota Pariaman, rakyat setempat melarang warga Tionghoa menghuni kota mereka. Memang di ranah Minang, para ketua adat menempatkan mereka sebagai “orang menumpang” yang dilarang membeli tanah-tanah adat/kaum/sawah/ladang.
Kendati terlihat jelas sensitivitas Pribumi terhadap warga Tionghoa yang berakibat pada sensitivitas mereka pada Cina juga, rezim Jokowi masih tidak peka pada fenomena sosial dan ekonomi ini. Rezim Jokowi tetap saja memperdalam hubungannya dengan Cina. Bahkan menempatkan dirinya sebagai pelayan Cina.
Hal tersebut bisa memperburuk hubungan Tionghoa-Pribumi yang memang sudah buruk sejak berabad-abad lalu. Kalau rezim Jokowi terus saja memunggungi teriakan Pribumi agar rezim memasang jarak dengan Cina, saya khawatir akan memperuncing sentimen anti Tionghoa di Indonesia. Dan yang dirugikan dengan hubungan konfliktual seperti ini adalah seluruh rakyat Indonesia, termasuk mereka yang “tak berdosa,” baik pribumi maupun warga Tionghoa.
*CATATAN KRITIS IDe#55 (End/sumber: Glr)
Penulis: Smith Alhadar, Institute for Democracy Education
Jakarta, 27 Mei 2020