Keempat, Kemenag terlihat seperti orang yang waqi’iyyin. Mengukur segala sesuatu dengan fakta yang ia indera. Padahal tidak semua fakta adalah benar. Apakah benar menurut hukum jika faktanya orang asing memguasai pasar di Negara ini, khususnya China? Lalu, kenapa Kemenag justru berfikir mempola pendidikan Islam dengan chinaisasi? Bukankah harusnya, siswa madrasah diperkuat bahasa Arabnya dan pemahaman Islamnya agar mampu mengajak penguasa dan masyarakat mengusir hegemoni kapitalis Barat dan China dari bumi pertiwi.
Kemenag baru ini juga sepertinya hanya berfikir tentang kemajuan dalam perspektif bahasa, bukan keimanan. Padahal yang membuat ummat Islam disegani orang-orang kafir di masa keemasannya adalah ketaqwaan dan ketundukan kepada Islama secara totalitas. Kini, bibit-bibit generasi muslim tidak lagi berkualitas unggul akibat westernisasi dan chinaisasi yang masuk melalui kurikulum. Output disiapkan hanya menjadi pelengkap kebutuhan tenaga kerja pasar kapitalis global. Padahal dalam Islam, pendidikan adalah cabang sistem Negara yang harus mampu menopang kemajuan masyarakat. Tidak diintervensi oleh Negara luar baik melalui kurikulum dan tujuan pendidikan itu sendiri. Namun hal ini hanya berlaku jika Indonesia adalah Negara kuat dan mandiri, tidak tergantung dengan Barat maupun China, karena keduanya sama-sama menjajah.
Islam memandang pendidikan sebagai proses yang mulia karena output-nya akan melahirkan generasi yang faqih fiddin, berjiwa pemimpin, dan terdepan dalam teknosains. Terkait bahasa, Islam juga sangat memperhatikan penggunaan bahasa. Apalagi bahasa Arab yang jadi bahasa pemersatu dalam Negara yang berhukum dengan Islam. Namun Islam tidak melarang ummat Islam belajar bahasa asing. Tentunya harus dengani tujuan yang jelas. Bukan hanya untuk kepentingan pasar. Lebih dari itu, bahasa dalam Islam diperlukan untuk penaklukan suatu wilayah dengan menyampaikan “dakwah” kepada penduduk setempat. Dengan menguasai suatu bahasa daerah tertentu, maka dakwah dapat tersampaikan dengan baik dan mudah diterima.
Oleh karena itu, solusi memajukan pendidikan Islam khususnya output madrasah bukanlah dengan chinaisasi. Melainkan mengembalikan aqidah Islam yang komprehensif. Tentunya hanya akan mampu dilakukan dengan menguasai bahasa Arab. Dengan bekal keyakinan dan pemahaman Islam yang lurus, kelak mereka akan menyadari bahwa negerinya dan kaum muslimin hari ini sedang jadi santapan dua Negara serakah di dunia, yaitu Amerika dan China. Selayaknya generasi negeri ini khususnya siswa madrasah dibersihkan pemikirannya dari paha kapitalisme baik model Barat maupun China. Jangan sampai generasi-generasi muslim hari ini kelak akan menjadi orang-orang yang tidak peduli Islam dan kaum muslimin. Apalagi jika sampai menjadi penyembah ideologi kapitalis. Saatnya pendidikan Islam dan madrasah dikembalikan pada pondasinya yang kokoh, yakni aqidah Islam dan memahami syariat Islam secara kaffah.(*glr)
Penulis: Nahdoh Fikriyyah Islam
Dosen dan Pengamat Politik