Tentu saja, Beijing menentang Quad karena dilihat sebagai aliansi demokrasi anti-China yang potensial meningkatkan kehadiran kawasan Indo-Pasifik.
Keputusan India untuk bergabung dengan Quad mencerminkan kekhawatirannya tentang meningkatnya kekuatan dan ketegasan China, khususnya di Samudra Hindia (Ivan Lidarev, 2018).
Bahkan, sebulan sebelumnya, Mei, India memboikot KTT Belt and Road Initiative (BRI) yang diadakan di Beijing. Padahal KTT tersebut bahkan dihadiri “musuh-musuh” China seperti Jepang dan Amerika Serikat.
Keputusan India tersebut merupakan pukulan besar lain bagi hubungan China-India. Bagi China, boikot itu bukan hanya pertanda permusuhan India terhadap proyek internasional terpentingnya, tetapi juga penghinaan terhadap citra diri Beijing sebagai pemimpin internasional.
Bagi India, Koridor Ekonomi Tiongkok-Pakistan, kaki penting BRI di Pakistan, termasuk proyek-proyek di Kashmir yang dikuasai Pakistan, yang diklaim oleh India, sangat merugikan India.
Namun, sebenarnya liberalisasi ekonomi di India juga telah mendorong New Delhi untuk memperluas hubungan perdagangan dengan China. Hal ini, telah menandai pencairan ketegangan perbatasan antara keduanya. Ini dibuktikan dalam jumlah perjanjian bilateral dan perluasan perdagangan dan investasi antara kedua negara.
Sangat Dahsyat
Menurut berita yang beredar, 17 Mei lalu China telah menempatkan sekitar 5.000 tentara yang diperkuat dengan mesin perangnya di seberang perbatasan di daerah Ladakh. Ini sebagai kelanjutan dari insiden 5 Mei 2020, ketika terjadi bentrok antara tentara kedua belah pihak di tepi Danao Pangong Tso di Dataran Tinggi Tibet (Bloomberg, 2020).
Ini terjadi setelah India merampungkan pembangunan infrastruktur di perbatasan, yang menurut India tidak dimaksudkan untuk “negara tertentu” tetapi untuk mengembangkan daerah terpencil. Tetapi, dibaca lain oleh China.
Sulit membayangkan akan menjadi seperti apa bila perang benar-benar terjadi antara India dan China, dua negera besar yang secara bersama-sama jumlah penduduknya sekitar dua miliar jiwa.
Apalagi keduanya sama-sama memiliki senjata nuklir, ditambah dengan kekuatan ekonominya. Tentu, perang—bila terjadi—akan sangat berbeda dengan perang pada 1962. Kini kedua belah pihak sudah memiliki mesin perang yang canggih.
Perang pun tidak hanya perang darat, melainkan akan melibatkan matra udara dan laut. Barangkali akan menjadi perang yang sangat brutal, dahsyat, dengan akibat ekonomi tidak hanya bagi kedua negara tetapi global yang panjang.
Tetapi, apakah kedua negara menginginkan pecahnya perang? Secara akal sehat, jawabannya jelas: tidak!
Memang, kedua pemimpin negara itu Narendra Modi dan Xi Jingping, adalah pemimpin yang ambisius dan ingin memperluas pengaruh negara mereka sambil memperkuat vitalitas mereka.
Xi Jinping melalui Belt and Road Initiative dan Modi melalui Modi Doctrine. Namun, keduanya memiliki kepentingan yang lebih besar: menciptakan keamanan kawasan.
Di tingkat bilateral, China percaya bahwa Modi sedang mencoba untuk memaksa tangan China pada sengketa perbatasan, keanggotaan Grup Pemasok Nuklir India, penunjukan teroris Masood Azhar, dan proyek Koridor Ekonomi China-Pakistan di Kashmir. Yakin akan keunggulannya, Beijing tidak percaya perlu melayani India – meskipun sekarang – dan menolak tuntutan Modi di semua lini.
Kedua negara sama-sama memiliki ambisi dan potensi hegemoni regional. Apalagi, konflik struktural mereka tidak dapat didamaikan sampai kedua negara menemukan kompromi yang disepakati bersama dalam pengaturan regional mereka.
Akan tetapi, upaya untuk mengatasi gesekan–seperti perselisihan perbatasan dan ketidakseimbangan perdagangan—diharapkan dapat membantu memfasilitasi kompromi itu. Meskipun, di era persaingan kekuatan besar dan populisme domestik, upaya seperti itu akan sangat sulit.
Akan tetapi, China kiranya akan lebih berpikir pragmatis. Beijing tidak ingin berkonflik dengan India, meskipun kemungkinan memenangi peperangan. Tetapi, Beijing lebih memilih untuk tidak membangun dua front secara bersamaan: AS dan India.
Menghadapi dua front sekaligus, akan sangat menghancurkan bagi China, sekalipun mereka kuat. Jadi sasaran strategis China adalah membangun hubungan yang stabil dengan India untuk mencegah agar tidak menghadapi musuh di dua front sekaligus. India pun kiranya akan memilih tidak menghabiskan energinya untuk berperang, apalagi di tengah pandemik Covid-19 seperti sekarang ini. (*)
Penulis: Trias Kuncahyono