Eramuslim.com – DI TENGAH krisis dunia karena pandemik Covid-19, muncul ketegangan antara China dan India. Seakan kedua negara ingin “mencuri perhatian” ketika mata dunia tengah fokus ke pandemik Covid-19.
China seperti raksasa yang baru saja bangun tidur, menggeliat, melemaskan otot-ototnya setelah “disandera” Covid-19. Tangannya bergerak cepat, menggapai Hongkong lalu bergerak ke arah Barat, menyentuh India.
Sementara India, yang juga seperti negara-negara lain di dunia, tengah berjuang keras melepaskan cengkeraman dari “tangan-tangan” Covid-19, tidak mau lengah terhadap wilayah perbatasannya dengan China.
New Delhi selalu waspada terhadap gerakan Beijing, yang juga sedang tidak baik hubungannya dengan Washington. Sengketa perbatasan terutama berkaitan dengan dua wilayah yang diperebutkan: dataran tinggi Aksai China di barat dan negara bagian India Arunachal Pradesh di timur, hidup lagi.
Sebenarnya, ketegangan antara kedua negara bukanlah hal baru. Kedua negara — yang memiliki perbatasan tak bertanda terpanjang di dunia, 4.056 kilometer — pernah terlibat peperangan pada 1962.
Perang diakhiri dengan gencatan senjata informal, dan kedua belah pihak menyetujui adanya Line of Actual Control, Garis Kontrol Aktual. Namun, kesepakatan itu tidak menyelesaikan perselisihan antara kedua negara, yang sewaktu-waktu bisa meledak.
Hal itu terbukti, pada 1967, mereka kembali terlibat kontak senjata di Sikkim. Lalu pada 1987 di Lembah Sumodrong Chu, dan konflik Doklam 1987.
Konflik di Doklam sebenarnya tidak langsung melibatkan India, melainkan bermula dari sengketa antara pemerintah China dan Bhutan. Sebagai negara sahabat, India diminta bantuan oleh Bhutan untuk menghadapi China. Akibatnya, terjadi ketegangan antara India dan China.