Bank-bank Kategori B dan C yang pemilik/pemegang sahamnya tidak dapat menyuntikkan modal yang diperlukan harus diambilalih oleh BPPN atau ditutup.
Hasil audit diumumkan pada Maret 1999, ditemukan bahwa dalam Kategori A ada 73 bank memiliki CAR minimal 4 persen dan karenanya tidak termasuk dalam program kapitalisasi.
Dalam Kategori B, 9 bank akan direkapitalisasi, asalkan pemiliknya memenuhi persyaratan, 7 akan diambil alih oleh BPPN, dan 38 ditutup. Kemudian 17 bank Kateogri C yang tersisa dengan CAR di bawah –25 persen dinilai bangkrut tanpa prospek mendapatkan kembali kelayakan finansial.
Dalam skema itulah kemudian bank “dijarah” oleh pemiliknya sendiri, bebannya harus ditanggung oleh negara. Karena negara dipandang sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kekacauan politik yang terjadi.
Sehingga Negara harus membiayai sumber krisis yakni membiayai penuh pemulihan bank, membayar utang bank-bank yang kolaps, negara mengganti uang nasabah, negara menanggung seluruh kerusakan ekonomi, padahal semua itu terjadi akibat kejahatan keuangan para bankir.
Jumlah yang Dijarah
Total obligasi senilai Rp 648 triliun diterbitkan oleh pemerintah untuk rekapitalisasi bank. Dari jumlah tersebut sekitar Rp 430 triliun adalah dalam bentuk obligasi rekapitalisasi. Tambahan Rp 218 triliun dikeluarkan untuk BI sebagai penyelesaian biaya kepada BI atas dukungan likuiditas BLBI untuk bank-bank pada puncak krisis.
Apa itu BLBI? BLBI adalah dukungan likuiditas dari BI —dalam perannya sebagai pemberi pinjaman terakhir— kepada bank-bank bermasalah untuk menjaga sistem perbankan tetap berfungsi dalam menghadapi pergerakan bank besar-besaran selama krisis.
BI menyediakan total Rp 164,5 triliun, di mana 144,5 triliun pergi ke 48 bank yang ditangguhkan dan sisanya ke bank negara EXIM. Untuk bank yang diambil alih oleh BPPN, dukungan BLBI dikonversi menjadi ekuitas (kewajiban pemerintah) oleh pemerintah, sehingga tidak lagi tampak sebagai utang dalam neraca bank. Hal ini mengakibatkan pengalihan kepemilikan bank kepada pemerintah, yang memulihkan kasnya saat bank dijual oleh BPPN.
Namun, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan, melalui audit bank-bank penerima oleh perusahaan-perusahaan internasional, beberapa bulan setelah pemberian dukungan, penyalahgunaan sebagian besar dana BLBI. Jika penjualan BPPN tidak dapat membiayai kerugian, ini akan menjadi beban wajib pajak. Pemerintah dan BI sedang berusaha mencapai kesepakatan tentang pembagian beban.
Dari Rp 144,5 triliun BLBI yang dicairkan ke sekitar 48 bank swasta, audit menemukan bahwa 96 persen berpotensi hilang atau tidak dapat dipulihkan, 59 persen disalahgunakan, memberikan pinjaman tanpa agunan yang cukup, dan hanya Rp 35 triliun dapat dipertanggungjawabkan dan sekitar Rp 12 triliun telah diamankan dengan baik. Empat bank yakni Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Central Asia (BCA), Bank Danamon dan Bank Umum Nasional (BUN), menyumbang dua pertiga dari total dana BLBI.
Kembali lagi ke Obligasi rekap. Obligasi pemerintah ini mengandung masalah yakni stok utang yang besar, biaya bunga untuk anggaran program ini juga sangat tinggi (suku bunga obligasi bervariasi dari 10-16,5 persen); dan beberapa pembayaran bunga (pada apa yang disebut ‘obligasi lindung nilai’) dalam mata uang asing yang rawan terdepresiasi.
Obligasi rekap menyediakan sumber pendapatan utama bagi banyak bank. Dengan alasan tanpa sumber pendapatan ini mereka akan kesulitan membayar bunga atas simpanan. Karena itu peran dan tanggung jawab pemerintah dipandang sebagai keharusan. Sehingga obligasi rekapitalisasi merupakan beban yang berkelanjutan bagi pemerintah.
Sampai sekarang. pemerintah bebankan kepada rakyat. Enak benar ya?
Siapa Pendukung Penjarahan
Sebagaimana dicatat, program restrukturisasi dan rekapitalisasi —usaha yang sangat sensitif secara politis- dilaksanakan di bawah empat presiden yang berbeda, dan melalui perubahan mendasar dalam sistem politik. Karena skandal ini menjadi ukuran keberhasilan kinerja dan hasil dari pemerintah (dan Program). Kesuksesan skandal ini telah diberi penghargaan sebagai proses yang hebat dalam orde reformasi ini.