Bila microphone jatuh ke tangan penyusup, Komando palsu bisa dirilis. Triger chaoz. Jutaan massa ngga bisa ditahan peluru. Istana jebol. Tumpah darah. Rezim ambruk. Jakarta in turmoil. Banyak petualang politik. Penjarahan, pembunuhan, bisa terjadi malam itu.
Untung ada Habib Rizieq Syihab. Dia ngerti situasi. Dia bertahan. Saya melihat Salahuddin Al Ayyubi bersurban hijau.
Rasa benci orang-orang itu sifatnya irasional. Mereka menderita adrenaline “high” intoxication. Mabok adrenalin. Dengan membenci Habib Rizieq, mereka mengira bisa buy back their self-worth. Merasa punya godlike power. Padahal, dongo sempurna. In another parlance: Schizoprenia.
Rasa benci itu berasal dari cultivated long-time anger. Para pembenci Habib Rizieq pasti menderita “emotional damage”. Mereka menikmati rasa benci itu, like sex or drug. Kernberg menyebutnya “plesure in hatred”.
Sedangkan Charles Darwin melukiskan kebencian sebagai “intense form of dislike”. Menurut Darwin, Animals display “aggression,” or “rage.” They don’t hate each other. Cuma manusia insecure yang punya rasa benci.
Mereka berfantasi macam-macam mengenai Habib Rizieq. Fantasi ini bertransformasi jadi hatred. Menurut “Freudian” Melanie Klein, rasa benci itu merupakan “powerful denial mechanism” yang menciptakan pseudostupidity about the world.
Gimana ngga bodoh, those haters pasti kalah bila debat agama, politik, sosial-ekonomi dengan Habib Rizieq. Bukannya levelnya. Mau main kasar, ora punya massa.
Satu-satunya cara selamatkan muka dan harga diri mereka adalah cemo’oh. Dengan begitu, mereka merasa pintar.
THE END
(Zeng Wei Jian/kfr)