Dalam hal ini Affirmative Policy adalah kebijakan yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari aksi pengaruh Liberalisasi; proteksi terhadap segala bentuk kemarukan dan pelanggaran yang difasilitasi dengan uang.
Apalagi kalau ditinjau dari segi “track record” (jejak rekam) mainstream etnis Tionghoa yang pro-Belanda, pada waktu perjuangan menghadapi Agresi Militer II Belanda 1948 maupun kurangnya peran etnis dalam sejarah perjuangan bangsa, ini yang sering “dilupakan” oleh saudara-saudara etnis Tionghoa.
Sebaliknya, pihak-pihak yang selalu meraung-raung didiskriminasi justru tidak pernah mempersoalkan perilaku sesama etnis predator ekonomi yang membobol keuangan proyek/bank dan melarikan hasil jarahannya ke luar negeri, mereka yang melakukan penggusuran dan penguasaan berjuta-juta hektar lahan, yang menciptakan kesenjangan sosial – ekonomi yang semakin lebar dan tajam.
Seandainya, ulangi, seandainya warga etnis Tionghoa Yogya berhasil memenangkan perkara tuntutan kepemilikan tanah di DIY, apakah yakin mereka akan aman dan nyaman tinggal dan akan diterima oleh masyarakat Yogyakarta?
“Wishfull Thingking” … berkhayal aja …
Oleh karena itu, alangkah baiknya bila saudara-saudara etnis belajar dari sejarah sosial politik Tionghoa di Indonesia, melakukan konsolidasi dalam rangka INTROSPEKSI DIRI NASIONAL.
Tidak cuma menuntut hak saja, tetapi juga melaksanakan kewajiban sebagai WN yang berintegritas, rutin menjalankan tanggung jawab sosial yang berkesinambungan.
Hal ini penting dalam mengembalikanĀ kepercayaan masyarakat terhadap generasi penerus etnis Tionghoa dalam proses menjadi jati diri bangsa Indonesia. [kl/ts]
Penulis: Yap Hong Gie