Eramuslim.com – Handoko: “Saya Akan Terus Berjuang Melawan Rasisme Tanah”
Ia menilai Instruksi Kepala Daerah DIY No. K 898/I/A/1975 rasis karena menghilangkan kesempatan kepada kelompok etnis tertentu untuk memiliki tanah dengan status hak milik.
¤ Warga Keturunan di DIY Minta Diskriminasi Kepemilikan Tanah Dihapus.
Berdasarkan Surat Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY tertanggal 5 Maret 1975, nomor K.898/I/A/1975 pemerintah DIY mengatur proses pelepasan hak atas tanah bagi warga non pribumi.
Adapun alasan WN etnis Tionghoa tidak boleh memiliki tanah karena hal-hal sbb:
1. Sejarah politik Tionghoa.
Semua itu tak lepas dari benang sejarah di masa revolusi fisik kemerdekaan, tepatnya pada 1948. Saat masih panas-panasnya Agresi Militer II Belanda (19 Desember 1948), mayoritas warga Tionghoa justru berpihak pada Belanda.
Ini pula yang kemudian jadi pertimbangan Sri Sultan HB IX, ayah dari Sultan HB X.
Pada 1950 setelah Belanda benar-benar angkat kaki dari Indonesia secara umum dan Yogyakarta pada khususnya, terdengar akan adanya isu eksodus warga Tionghoa keluar Yogya. Mereka takut terjadi “pembalasan” dari masyarakat pribumi, lantaran saat Belanda masih menduduki Yogya, golongan Tionghoa cenderung pro-Belanda dengan memberikan berbagai bentuk sokongan. Namun dengan bijak, Sultan HB IX coba merangkul dan berpesan agar mereka tidak perlu takut.
“Tinggallah di Yogya. Tapi maaf, saya cabut satu hak Anda. Yaitu hak untuk memiliki tanah,” tegas Sultan HB IX.
https://amp.tirto.id/mengapa-nonpribumi-tak-boleh-punya-tanah-di-yogya-bQZl
2. Penguasaan Lahan oleh WNI Keturunan.
Berdasarkan laporan Bank Dunia pada 15 Desember 2015, sebanyak 74 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh 0,2 persen penduduk, disampaikan Hafid Abbas, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta menolak gugatan atas Surat Instruksi Wakil Gubernur (Wagub) DIY Nomor 898/I/A/1975 tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Nonpribumi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Putusan ini dibacakan majelis hakim dalam sidang di PN Yogyakarta pada Selasa (20/2/2018).
http://www.suratkabar.id/79830/news/gugatan-ditolak-nonpribumi-dilarang-punya-tanah-di-jogja/amp
Affirmative Policy atau Kebijakan Afirmatif yang dianut oleh Pemda DIY, bisa saja dianggap sebagai suatu kebijakan yang bersifat diskriminatif ataupun rasis bilamana negara dalam kondisi normal.
Namun begitu negara atau bangsa dalam keadaan krisis atau sedang mengalami kesejangan sosial ekstrim dan terancam oleh para predator ekonomi, dimana kebijakan afirmatif tersebut diterapkan untuk melindungi kepentingan umum yang lebih besar, seperti melindungi masyarakat ekonomi lemah, melindungi keistimewaan DIY, menjaga kebudayaan dan keberadaan Kasultanan Yogyakarta, keseimbangan pembangunan dsb, yang merupakan bentuk tanggung jawab Pemda DIY kepada warga masyarakat DIY dan kepada Kesultanan Jogjakarta, maka
norma2 seperti diskriminasi dan HAM bagi masyarakat dan pemerintah setempat menjadi tidak relevan atau bukan prinsip lagi dan kebijakan/tindakan itu adalah sah dan bisa dibenarkan!
Dinegara manapun juga “National Security” menjadi prioritas paling atas.