Eramuslim.com – Di masa pemilu presiden, orang menjadi gila setelah pencoblosan selesai dan pemenang diumumkan. Tiga tahun berlalu, fragmentasi pendukung tak kunjung kembali ke titik netral. Kicauan pembenci dan pemuja Jokowi, baik yang berpikir menggunakan otak maupun dengan dengkul bersliweran setiap hari di media sosial. Beruntunglah mereka yang masih memiliki akal sehat untuk menikmati perpecahan ini dan melanjutkan hidup.
Situasi serupa, terulang di pemilihan gubernur DKI Jakarta. Di ajang ini, orang sudah menjadi gila jauh sebelum pertarungan dimulai. Caci maki dan tuduhan bersemburan sejak jauh-jauh hari dari pendukung maupun penghujat Pak Gubernur di media sosial. Aneka profesi tiba-tiba menjadi ahli di bidang tata kota hanya karena mendukung calon inkumben, Basuki Thajaja Purnama alias Ahok atau sebaliknya.
Seorang aktivis liberal bahkan menuding seseorang lainnya sebagai ‘penjual kemiskinan’ karena mengadvokasi masyarakat masyarakat korban gusuran. Para pendukung calon inkumben punya energi melimpah untuk menggebuk siapa saja yang menyenggol Pak Gubernur. Rachel Maryam salah satu korbannya. Foto semasa menjadi artis, yang sudah tak relevan dengan jabatannya sebagai anggota DPR diumbar ke publik.
Siapa yang paling militan? Tentu saja kubu yang berkuasa. Sejak awal mereka disokong pesohor Twitter yang mempunyai puluhan sampai ratusan ribu pengikut. Kelompok ini beririsan dengan kubu pendukung Jokowi di pemilu presiden. Narasi yang mereka bangun adalah para pesohor alias selebtweet ini bergerak murni karena gerakan moral tanpa bayaran.
Saya bertanya-tanya apa yang membuat orang-orang ini sedemikian berenergi mendukung calon gubernur? Benarkah hanya aspirasi murni bermodal ketulusan dari lubuk hati yang terdalam? Sulit membayangkan orang-orang ini bergerak secara tulus dan sukarela mengingat mereka juga mulai berekpansi ke Jawa Barat. Lingkarannya masih orang yang itu-itu saja. Apalagi yang bisa menjelaskan spirit ini kecuali ada kepentingan yang menguntungkan kelompok atau diri mereka sendiri?
Narasi inilah yang dibangun lewat Teman Ahok. Ada kelompok anak-anak muda yang khawatir Ahok tak bisa maju lalu membentuk gerakan mengumpulkan KTP. Awalnya kita dibuai, betapa adiluhurnya gerakan ini. Teman Ahok berawal dari kesadaran personal lalu viral menjadi kesadaran kelompok. Mereka adalah relawan, bergerak tanpa bayaran sama sekali. Begitulah narasi yang ingin mereka bangun.
Belakangan kita tahu, seperti ditulis Majalah Tempo, kelompok ini didesain oleh konsultan politik dengan modal yang lumayan besar. Ini adalah mesin yang diinjeksi modal sehingga bergerak menjadi besar, konon berhasil mengumpulkan sejuta KTP, walaupun tak pernah diverifikasi kesahihannya. Saya memahami mengapa belakangan aktivis Teman Ahok dan lingkaran dekatnya marah dengan Tempo. Sebab, narasi yang ingin mereka bangun akhirnya porak poranda.
Pola yang dibangun oleh buzzer ini nyaris sama yakni menghancurkan instrumen penting demokrasi lalu memunculkan satu tokoh yang dianggap hero. Konkretnya, mereka bakal membunuh karakter lawan politik sedemikian rupa. Mereka menggebuk DPRD DKI Jakarta sebagai begal anggaran, membangun opini bahwa semua DPRD adalah maling dan yang bersih hanya calon yang mereka dukung. DPRD, yang memang payah dalam soal korupsi, akhirnya menjadi bulan-bulanan publik.
Musuh kedua mereka adalah partai politik. Sejak awal mereka membangun jarak dengan partai politik. Lihat saja pernyataan awal kelompok buzzer ini terhadap partai politik. Partai politik dicap korup, pemeras dan sumber segala kebusukan republik. Kelompok ini pula yang paling gemar membully Setya Novanto ketika kasus Papa Minta Saham. Meskipun kita tahu Ahok memilih jalan dan siapa yang menjadi sponsor dalam pemilihan gubernur kali ini.
Pola mereka berikutnya menggebuk media massa yang kerap melancarkan kritik dan lawan politik. Tempo sudah menjadi korban. Media online lain pernah juga digebuk meskipun tidak semassif risak terhadap Tempo. Mereka juga nyinyir dengan tokoh yang bisa dianggap sebanding dengan penantang Ahok. Anies Baswedan sudah kena semprit, meskipun menjadi calon gubernur saja belum. Risma juga pernah. Ridwan Kamil yang tak maju di Jakarta juga disikut entah karena apa.
Siapa pasukan terdepan mereka? Tentu saja pasukan di Twitter, yang mengklaim tak pernah dibayar. Sulit membayangkan di akal sehat saya, seseorang hidup di Jakarta, ngetweet sepanjang pagi hingga malam, menggebuk siapapun tanpa ada unsur kepentinyan lain. Tentu ada yang bergerak sukarela. Tapi lebih banyak mana yang bergerak karena komando dan strategi yang didesain matang?
Buat saya, buzzer bayaran adalah pasukan tanpa ideologi yang berpotensi merusak demokrasi. Ada buzzer yang dulu jadi pendukung calon A di pilkada DKI 2012, kini menjadi pendukung Ahok kelas wahid. Target mereka adalah membunuh karakter pilar demokrasi seperti partai politik dan media massa, lalu berusaha memonopoli kebenaran. Dari situlah mereka mengeruk keuntungan finansial.
Pasukan buzzer ini hanya melekat pada tokoh, bukan pada ideologi. Ketika si calon memilih jalur independen mereka menepuk dada sembari mencaci partai politik. Ketika calon memilih jalur partai, mereka kembali bersorak sorai memuji partai politik karena dianggap memilih tokoh yang tepat. Lalu, di manakah letak sebuah prinsip jika mencla-mencle dimaklumi? Integritas tak lagi penting selama sang calon mencapai tujuan, bagaimana pun caranya.
Mereka tak memiliki pertanggungjawaban moral apapun sehingga layak disebut perusak demokrasi yang sedang kita bangun pelan-pelan. Mereka tak punya pertanggungjawaban apapun terhadap publik. Bandinhkan dengan partai politik memiliki mekanisme reward and punishment lewat pemilu. Jelek mereka bertindak, mereka tak bakal dipilih dalam pemilu. Media massa pun begitu. Ceroboh memberitakan, media bakal ditinggalkan pembaca.
Lalu, apa pertanggung jawaban orang-orang ini? Sama sekali tak ada. Contoh paling anyar soal buzzer kebakaran hutan. Mereka mengais rezeki di atas penderitaan korban asap. Kalau tak ketahuan, uang masuk kantong sembari berteriak-teriak soal penyelamatan lingkungan. Ketika ketahuan, mereka ramai-ramai mencari pembenaran lalu ketawa-ketiwi. Lihat, apa hukuman mereka? Mereka masih bisa ketawa-ketiwi karena tak memiliki prinsip dan mungkin juga urat malu. Seorang akun Twitter menyebut orang-orang ini sebagai penjual jempol ketengan. Saya kira ini adalah istilah yang tepat.
Mereka gagah berani mengumpan kicauan sehingga berbuah bully pada lawan politik. Mereka bekerja secara berkelompok, mencari target untuk dirisak. Rupanya mental orang-orang ini belum cukup kuat untuk terjun ke politik. Nyali mereka tak sebesar kicauan di Twitter. Ada dua pendukung Ahok yang mengunci akun karena dibully di Twitter. Lha, bagaimana mau memperjuangkan demokrasi kalau dicaci maki saja langsung ngumpet? Apalagi info terakhir, ada seorang pendukung Ahok stres dan down akibat ribut-ribut ini. Alamaaaak….
Jadi kesimpulannya begini, dulu makelar politik bersembunyi dalam ruang senyap-senyap yang tak terjangkau publik. Kini mereka berkeliaran di lini masa, mengais rezeki di atas penderitaan korban. Mereka nyata dan tak lagi punya malu.
Sudah saatnya partai politik mewaspadai gerombolan dan para makelar politik ini.
*Ditulis di keheningan Gunung Leuser*
Wayan Agus Purnomo
(Wartawan Tempo)