Secara ontologis, kata radikal sesungguhnya netral. Radical atau radix yang berarti “sama sekali” atau sampai ke akar akarnya. Pohon jika tanpa akar maka tidak akan tumbuh subur, bahkan akan mati. Ilmu jika tak dipahami sampai ke akarnya, maka tidak akan mendapatkan pemahaman yang mendalam. Dalam perspektif ontologis, istilah radikal tak ada masalah, karena bebas nilai.
Dalam kamus Inggris Indonesia susunan Surawan Martinus kata radical disama-artikan (synonym) dengan kata “fundamentalis” dan “extreme”. ‘Radikalisme’ berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”, artinya akar ; (radicula, radiculae: akar kecil). Berbagai makna radikalisme, kemudian mengacu pada kata “akar” atau mengakar.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI V), secara terminologi kata radikal artinya (1) secara mendasar, sampai hal yang prinsip. (2) amat keras menuntut perubahan (3) maju dalam berfikir atau bertindak. Dengan demikian secara epistemologi, kata radikal mulai diarahkan kepada interpretasi kepada sebuah pikiran atau tindakan untuk sebuah perubahan.
Sementara secara aksiologis, Barat mengambil alih definisi kepada interpretasi politis dimana kata radikal ditambahkan akhiran isme menjadi radikalisme. Oleh Barat kata radikalisme dimaknai (1) sebuah paham atau aliran radikal dalam politik. (2) Paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastic. (3) Sebuah sikap ekstrem dalam aliran politik.
Barat tidak puas sampai disini, pendekatan politis terus dilakukan untuk membangun narasi dan interpretasi dengan maksud dan tujuan ideologis. Maka Barat lantas melakukan strategis politik busuk dengan menyematkan kata radikal kepada Islam dan kaum muslimin yang berseberangan dengan ideologi demokrasi sekuler.
Sekulerisme oleh barat dimaksudkan untuk memisahkan agama dari kehidupan. Maka siapa saja yang menjadikan agama sebagai dasar berfikir untuk kehidupan akan dicap sebagai kaum radikal yang wajib dimusuhi. Sebaliknya, siapa saja yang berpikiran sekuler, maka akan dijadikan sebagai temannya. Kaum sekuler oleh Barat lantas disebut sebagai kaum moderat.
Karena itu secara epistemologis, Islam sesungguhnya tidak radikal dan juga tidak moderat dalam timbangan interpretasi Barat. Tentu tidak relevan, nilai-nilai Barat digunakan untuk menimbang Islam. Islam sebagai agama wahyu harus ditimbang berdasarkan sumber hukumnya yakni Al Qur’an, Al Hadist, Ijma’ dan Qiyas. Menimbang Islam dengan epistemologi Barat, dalam filsafat disebut aliran neomodernisme. Sementara postmodernisme adalah upaya untuk menghilangkan Islam sama sekali. Pluralisme adalah produk filsafat postmodernisme.
Barat masih tidak puas sampai di sini. Barat menginginkan Islam hancur lebur dan umatnya terpecah belah. Barat sangat paham, bahwa dahulu khilafahlah yang telah menyatukan umat Islam sedunia dan mampu menjadi negara adidaya yang sangat maju. Barat sangat paham bahwa jika khilafah kembali tegak, maka Barat dalam waktu tidak lama akan hancur lebur.
Dari sinilah, skenario demi skenario direkayasa Barat untuk melumpuhkan kebangkitan umat Islam yang kian kuat. Barat melihat kebangkitan umat untuk kembali menegakkan khilafah kian menguat dan menjadi ancaman paling menakutkan bagi mereka. Dimulai dari sinetron hancurnya gedung kembar WTC maka dibuatlah narasi radikalisme ini. Untuk memperkuat narasi, maka Barat membuat hantu yang diberi nama ISIS.
Barat mencoba berkonspirasi kepada negara-negara yang mau membebek kepada mereka. Dengan mengucurkan dana yang banyak, rupanya banyak juga negeri-negeri muslim yang mau dibodohi dan menerima proyek deradikalisasi Islam. Deradikalisasi Islam, oleh Barat dimaknai sebagai upaya menjauhkan umat Islam dari agamanya.
Sebagaimana fir’aun, Barat juga menjual ketakutan kepada masyarakat dunia akan bahaya radikalisme Islam ini. Dari sinilah muncul istilah islamophobia, yakni kelainan psikologi masyarakat dunia terhadap Islam. Mereka mengalami halusinasi ketakutan yang berlebihan kepada Islam yang justru agama paling damai di dunia. Psikoabnormal Islamophobia adalah kebodohan akut masyarakat modern yang katanya rasional.
Intinya ada stretegi busuk dibalik narasi radikalisme. Pertama sebagai upaya pecah belah umat Islam dengan mengadu domba dengan kaum moderat yang nota bene telah dikasih dana dan proyek. Kedua sebagai upaya pendangkalan ajaran Islam, maka jika ada muslim yang yakin 100 persen akan kebenaran Islam, akan disebut sebagai kaum radikal.
Ketiga, narasi radikalisme sebagai upaya untuk menghadang kebangkitan Islam, maka muslim yang menyerukan kebangkitan Islam dengan menerapkan syariah dan khilafah akan disebut sebagai kaum radikal. Keempat, narasi radikalisme adalah cara buruk politik Barat agar tetap bisa bercokol dan menjajah negeri-negeri muslim. Bahkan bukan hanya Barat yang menjajah negeri muslim, kini Timurpun ikut menjajah.
Maka mudah sekali diidentifikasi, jika ada sebuah peristiwa, baik besar maupun kecil, lantas setelah kejadian, muncul kata radikalisme, maka itu adalah sinetron, dagelan dan sandiwara politik busuk Barat untuk memojokkan Islam. Jika ada orang yang langsung berkoar tentang radikalisme pasca sinetron, maka merekalah antek penjajah itu, meski alasannya demi keutuhan negara sekalipun.
Maka, jika masih ada muslim yang percaya kepada narasi radikalisme maka dia sesunggunya telah gagal paham dan telah dibodohi oleh kaum kafir Barat. Apalagi jika ada orang yang menerima dana Barat untuk proyek deradikalisasi, maka selain dungu, orang itu adalah seorang pengkhianat agama. Jika dia muslim, maka dia adalah pengkhianat Islam.