Membuat pulau reklamasi tak cukup dengan keppres dan pergub. Diperlukan juga perda zonasi, adanya Badan Pelaksana dan IMB. Proses ini nampaknya ditabrak. Bangun dulu, ijin belakangan. Toh penguasa orang kita, dan bisa kita atur. Ini biasa terjadi dalam banyak proyek.
Celah hukum inilah yang dilihat Anies sebagai bentuk ketidakberesan. Celah inilah yang memberi kewenangan Anies sebagai gubernur DKI untuk mengkaji ulang. Hasilnya? Masyarakat semua tahu bahwa reklamasi merugikan rakyat dan bangsa. Dampak yang paling terasa adalah hancurnya ekonomi nelayan, banjir di darat, hilangnya kawasan wisata pantai dan pulau-pulau itu bisa jadi “pelabuhan gelap” bagi para penyelundup komoditas ilegal.
Jika saat kampanye Anies-Sandi menggunakan narasi kerakyatan terkait reklamasi, maka saat jadi gubernur, Anies punya kewenangan hukum untuk melakukan eksekusi. Dengan legal standing ini, pencabutan ijin reklamasi tak bisa dilawan, oleh penguasa sekalipun. Apalagi cuma pengembang.
Bicara reklamasi ada dua logika. Pertama, logika formal. Logika formal terkait dengan hukum. Gubernur punya kewenangan disini. Kedua, logika substansial. Ini menyangkut kajian zonasi dan bisnis.
Di dalam logika substansial ini ada pertarungan yang sangat kuat antara kepentingan rakyat vs kepentingan pengembang. Dapat dipastikan, dalam pertarungan ini, kepentingan bisnis yang biasanya akan menang. Kenapa? Kepentingan bisnis selalu dapat dukungan penguasa, dalam hal ini adalah gubernur dan atasan gubernur.
Situasinya berubah ketika gubernurnya ganti. Gubernur yang terpilih tak terlibat, dan tak mau terlibat dengan bisnis reklamasi. Rumornya gubernur yang baru dapat iming-iming puluhan milyar saat kampanye, dan baru-baru ini dinaikkah angkanya jadi puluhan triliun. Rakyat miris jika itu benar. Tapi, setelah kemarin reklamasi dicabut ijinnya, pertanda bahwa gubernur baru, Anies Baswedan, tak bisa disuap. Bravo Pak Anies, kata rakyat Jakarta. Mungkin juga rakyat di seluruh tanah air.