Ketiga, Ambisi Sandiaga Uno.
Dalam dunia bisnis, jejak digital membahas karir Sandi menjadi pengusaha sukses, khususnya diukur dengan kekayaan yang dimasukkan dalam daftar Forbes. Namun, dalam politik, Sandi memperlihatkan berbagai sifat mengalah.
Beberapa hal ini, Sandi mengalah dengan Anies Baswedan untuk sebagai cawagub DKI. Padahal Sandi sudah diunggulkan Gerindra sebagai Cagub. Bahkan, rumor mengatakan bahwa pembiayaan kampanye Anies-Sandi mayoritas dibiayai Sandi.
Selanjutnya, Sandi tidak menunjukkan ambisi untuk menjadi cawapres Prabowo. Batas terkahir pengajuan cuti untuk cawapres adalah tanggal 27 juli 2018. Dengan tidak mengajukan cuti, maka calon cawapres dari kepala daerah, akan kehilangan jabatannya selama lamanya.
Sandi melepaskan jabatan wakil Gubernur ibukota, sebuah jabatan yang susah diraih, demi permintaan PKS dan PAN untuk menjaga keutuhan “koalisi sakral” Gerindra-PKS dan PAN. Dilihat dari pengorbanan Sandi, tentu tudingan bahwa Sandi membeli PKS dan PAN sangat tendensius.
Bahwa uang dibutuhkan dalam politik liberal ala Indonesia ini, sudah diteliti banyak pihak. Doktor Pramono Anung, misalnya, meraih doktor dengan riset biaya politik caleg yang sangat mahal saat ini.
Jika orang partai politik membangun opini “money politics” dalam “power game”, sesungguhnya seperti “meludah muka sendiri”.
Penutup.
Kepada Sri Bintang Pamungkas saya jelaskan bahwa Sandi adalah korban ambisi Yudhoyono dan Prabowo. Ambisi yang pertama kurang dapat dipertanggung jawabkan. Sedangkan ambisi Prabowo, baik buat bangsa. Dalam menyelamatkan ambisi Prabowo yang baik inilah Sandi berkorban. Kehilangan kursi empuknya di DKI. Sandi tidak membeli kekuasaan.
Meski akan berkorban uang. Kehilangan uang karena nantinya pasti diminta bantu biaya kampanye. Namun, disitulah sosok pemimpin terperlihatkan. Sebuah keteladanan untuk berkorban. [***]
Penulis; Syahganda Nainggolan, Direktur Lembaga Kajian Publik Sabang-Merauke Circle (SMC)