Renungan itu terasa keras menggedor kesadaran. Di media sosial orang terlihat dengan gampang memaki apa saja yang dianggap suci oleh Muslim. Tak ada ragu dan menganggap hal itu absah karena dianggapnya negara ini tak butuh dengan agama, termasuk tak membutuhkan dukungan umat Islam.
Harus diakui pula, banyak di antara mereka yang suka mengunggah pernyataan tak beradab di media sosial terindikasi punya sakit kejiwaan, minimal adalah orang yang sebenarnya gila tapi sekilas di mata umum dianggap orang normal atau sehat jiwanya (edan ora konangan/gila tapi tak ketahuan,red). Mereka kadang teriak seraya menujuk kepada orang lain bahwa agama dan Tuhan tidak peru dibela, tapi ketika berbicara kepada diri sendiri dan kelompoknya mereka mengatakan bahwa apa yang dilakukannya adalah demi menambah kemuliaan Tuhan yang diyakininya.
Bila di zaman lalu, ada Darmog Gandul, Gatoloco, hingga cerpen ‘Langit Makin Mendung’-nya Ki Panji Kusmin, tapi apa yang disebutkan anak ‘zaman old’ itu belum sevulgar dan meluas seperti sekarang ini. Celakanya lagi, mereka juga tak bersikap kesatria karena banyak di antara para penulis ‘kebalanan’ itu tidak berani menyebut jati dirinya alias dengan membuat akun palsu. Dan bila ada yang berani memakai nama yang jelas, maka ketika ditangkap polisi mereka segera bersikap ‘cemen’: menangis dan kelojotan tak keruan dan memohon-mohon minta ampun.
Tapi apa sih sebenarnya yang terjadi. Maka jawabnya jelas, begitu banyaknya sikap dan tulisan yang banal terhadap ajaran Islam jelas menunjukan sentimen terhadap Islam kini tengah menanjak naik. Lalu Islam yang seperti apa yang harus dipandang sentimen atau negatif? Jawabnya, ya seperti ajaran Snouck Hurgronje bahwa Islam politiklah yang harus ditebas habis, Islam ibadah tak diganggu alias dibiarkan berjalan seperti biasa.