Secara psikologis, ini musibah. Tak setiap orang mampu tetap tegar, santun dan tersenyum ketika diteriakin. Teriakan kebencian.
Tetapi, secara politis, justru blessing buat Anies. Selalu dapat momentum. Ada panggung gratis untuk tampil. Sebaliknya, bagi Istana, ini blunder.
Anies nyamper. Mendekat ke kerumunan orang yang neriakin. Senyum, sapa dan salaman. “Tiga S”. Satu persatu. Tanpa terkecuali. Mereka bengong. Tak menyangka. Manuver tak berakhlak dibalas dengan kesantunan. Mereka terdiam. Mati kutu.
Satu lagi, poin buat Anies. Blessing. Tangan Tuhan membuka mata dunia. Bahwa seorang pemimpin mesti berakhlak. Siap menghadapi situasi positif, tapi juga negatif. Menyenangkan, tapi juga yang tidak mengenakkan. Tidak boleh mengeluh, apalagi marah. Menjadikan setiap momentum sebagai peluang untuk memberi contoh kepada rakyat. Bahwa pemimpin itu mesti bersabar, matang, dewasa, stabil emosinya, dan tek berhenti mencintai dan merangkul rakyatnya.
Anies berhasil menjadikan teriakan itu sebagai iklan publik. Begitulah selayaknya seorang pemimpin menghadapi kritik, bahkan cemoohan rakyatnya. Senyum, sapa dan salaman. “Tiga S”.
Sebaliknya, teriakan itu telah mengotori Istana Bogor. Urakan, tak berkelas, kontra adab. Dilakukan di Istana dan di depan presiden. Yang berteriak adalah para pendukung Istana. Sangat spontan, sporadis dan tidak cerdas.
Teriakan itu menjadi blunder. Untuk kesekian kalinya. Kehadiran Anies seperti magnet buat blunder Jokowi. Akan terus terjadi jika terus dibiarkan. Apalagi jika confirm Anies dapat tiket maju Pilpres. Diprediksi akan semakin membuka peluang munculnya blunder Istana makin besar. Kenapa? Faktor panik menjadi variable yang tidak bisa dipungkiri.
Teorinya: calonkan Anies di Pilpres 2019, kepanikan Istana dan para pendukung akan makin besar. Dengan begitu, akan terjadi festival blunder yang dilakukan tim Istana. Sebabnya? Pertama, beban psikologi atas kekalahan di Pilgub DKI 2017 belum terobati.