Kecuali di Jabar. Sedikit agak beda. Sebab, pertama, partai oposisi punya pasangan sendiri. Kedua, heroisme 212 berasal dari Jabar. Ketiga, Jabar paling besar jumlah pemilihnya. Jika pasangan oposisi menang, benar-benar bisa jadi sunami buat Jokowi di pilpres 2019. Oposisi kalah, tak terlalu berpengaruh. Sebab, partai koalisi istana pecah.
Kesimpulannya, pilkada Beda dengan pilpres. Pemilih walikota, bupati, terutama gubernur di tiga wilayah Jawa, Sumut dan Sulsel, tidak terafiliasi secara otomatis dengan capres dan cawapres di 2019. Seandainya pasangan yang dicalonkan istana menang di tiga wilayah Jawa, tak otomatis mereka akan pilih Jokowi. Pendukung Khofifah, bukan identik pendukung Jokowi. Pendukung Gus Ipul, bukan juga pendukung lawan Jokowi. Itupun jika Jokowi dapat tiket dan berkesempatan maju di pilpres 2019. Sebab, jika PDIP dan Golkar tarik diri, Jokowi tak jadi nyapres. Bisa terjadi? Sangat bisa!
Pendukung Gus Yasin di Jawa Tengah, para ulama dan santri K.H. Maemoen Zubair, tidak bisa diidentifikasi sebagai pendukung Jokowi. Banyak dari mereka ikut demo 212 dan tidak simpatik ke Jokowi. Begitu juga pendukung Fauziyah dari PKB, belum tentu tidak dukung Jokowi.
Di Jabar lebih susah lagi. Cagub-cawagubnya ada empat. Punya agenda setting masing-masing. Kalau toh pasangan Ridwan Kamil-Uu menang, suaranya tidak akan sampai 50%. Itupun belum tentu dukung Jokowi. So? Hasil pilkada, bukanlah gambaran dari pilpres. [swamedium]
*Penulis: Dr. Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa