Jabar punya jumlah pemilih paling besar. Lebih dar 30 juta. Siapapun bakal capres-cawapres, punya kepentingan terhadap Jabar. Jokowi 3-5 kali setiap bulan “sidak” ke Jabar. Sidak atau pengkondisian? Beda tipis.
Jika bukan calon dari istana yang menang, Jabar bisa tak terkendali. Ikhtiar dan ritual kunjungan Jokowi ke Jabar akan dianggap sia-sia. Sementara SBY berupaya mengambil Jabar dengan memenangkan pasangan Dedy Mizwar-Dedi Mulyadi.
Di Jawa, calon istana berpeluang menang. Di Jabar, elektabilitas Ridwan Kamil-Uu paling tinggi. Meski Dedy-Dedi dan pasangan Sudrajat-Saikhu berupaya mengejar. Di Jateng, Ganjar-Yasin yang dibesut istana mengungguli Sudirman Said-Fauziyah. Di Jatim, Khofifah-Emil Dardak, calon yang diidamkan Jokowi, melampui suara Gus Ipul-Puti.
Apakah jika paslon istana menang di Pilkada, terutama di Jawa, otomatis akan melanggengkan Jokowi di pilpres 2019? Tidak. Pertama, koalisi istana tidak tunggal. Terbelah oleh kepentingan koalisi. Silang koalisi terjadi di beberapa wilayah. Partai pemerintah dan oposisi campur aduk. Kedua, calon tidak merepresentasikan kepentingan istana maupun lawan istana.
Pilkada, bagi para pemilih, lebih merepresentasikan figur. Bukan representasi istana atau partai. Kalau toh ada, tidak terlalu dominan. Prosentasenya tidak terlalu signifikan. Artinya, hasil pilkada 2018 tidak terlalu berpengaruh pada hasil pilpres 2019. Pemilih pilkada sangat cair, tidak dikotomis. Beda dengan pemilih di pilpres, pendukung istana dan oposisi terbelah. Kelompok “Ganti Presiden” berhadap-hadapan, tidak saja secara politik, tapi juga secara emosional dengan kelompok pendukung Jokowi. Siapapun pemenang pilkada, pilpres punya variabel yang berbeda.