Sebelum merebak isu virus Corona, Indonesia berharap dapat bantuan masif dari RRC. Baik investasi maupun perdagangan. Namun, bencana RRC membuat situasi akan lebih buruk.
Bagaimana situasi ekonomi terkahir ini?
Pemasukan negara melalui pajak tahun lalu tidak tercapai. Hanya sekitar 84%. Pajak sebagai andalan utama pemasukan, jika gagal, harus membuat revisi APBN dilakukan secara serius. Korbannya secara umum adalah subsidi.
Mazhab ekonomi ala rezim Jokowi yang dimotori Menkeu Neoliberal adalah standar yakni Austerity. Apa itu? pemangkasan subsidi.
Maka pemerintahan Jokowi dalam 100 hari ini sibuk memikirkan penghapusan subsidi.
Pemerintah mulai menaikkan iuran BPJS Kesehatan, menaikkan tarif tol, akan menaikkan tarif listrik setelah Maret, dan bahkan terakhir akan mencabut semua subsidi gas melon 3 Kg.
Pedagang gorengan yang berdikari di sektor informal, mulai stres mendengar isu gas melon harganya pada harga pasar, yakni sekitar Rp. 35.000. Apa kami masih bisa cari makan (nafkah)? keluh mereka.
Pegawai honorer mulai marah. Mereka mengutuk Raker Komisi 2 DPR-RI dan Kementerian PAN yang berencana menghapus pegawai honorer. Pengangguran yang dijanjikan digaji atau disubsidi, hilang lagi isunya.
Namun, ini adalah konsekwensi penghapusan subsidi itu.
Situasi keterpurukan ekonomi Indonesia ini kebanyakan disebabkan pemerintah tidak mampu mengendalikan pembangunan yang berorientasi kedaulatan, kemandirian dan pemerataan. Orientasi ekonomi yang bersandar pada hutang dan impor, telah menjebak Indonesia menjadi negara konsumtif. Contohnya, kita memproduksi semen over produksi sekitar 30 juta ton, namun malah memasukkan sebanyak-banyaknya semen dari China. Akhirnya pabrik-pabrik kita kalah bersaing. Berbagai industri lainnya juga hancur seperti baja (baca: Krakatau Steel). Dan banyak lainnya. Hancurnya pabrik-pabrik ini membuat bangsa kita kehilangan lapangan kerja. Anak-anak muda milenial bersandar pada mimpi “unicorn” dan terjebak pada ojek online.
Utangpun terus menggunung. Ruchir Sharma, Investment Guru, selalu mengajarkan hati-hati dengan hutang. Utang itu awalnya indah, lalu menjadi kecanduan hutang, lalu menjadi terperangkap dan akhirnya ketakutan. (Debt trap, debtomania, debtophobia). Penyebabnya, hutang ini membawa manfaat bagi broker-broker hutang, baik lembaga keuangan resmi maupun politisi.
Belum ada tanda tanda Jokowi mampu menjelaskan bagaimana nasib rakyat ke depan. Rakyat semakin sulit mencari kerja. ADB melansir 20 juta orang kelaparan. Apakah ada tanda-tanda pemerintah mampu menolong keadaan?
Penutup
Berbagai persoalan yang dihadapi pemerintah Jokowi jilid dua selama 100 hari ini menunjukkan fakta bahwa situasi bangsa kita dalam kondisi keterpurukan. Kalau bangsa terpuruk, asalkan koruptor dihukum mati, maka rakyat masih bisa toleransi.
Persoalannya koruptor-koruptor kakap saat ini adalah orang-orang kaya raya, seperti geng Benny Tjokro, yang membobol asuransi Jiwasraya dan ASABRI. Bahkan nama Tan Kian, taipan properti raksasa sudah mulai disebut2 kejaksaan agung terkait juga. Mereka merampok harta-harta negara tanpa takut sama sekali. Mungkin mereka sudah menganggap bangsa ini adalah bangsa budak.
Nah, dalam 100 hari pemerintahan Jokowi, belum ada tanda-tanda bangsa kita akan tumbuh menjadi kuat (kembali). Semua persoalan di atas hanya menggambarkan pesimisme. Padahal Indonesia saat ini sedang butuh pemimpin yang kuat, pembasmi koruptor dan memihak pada nasib rakyat. Dan ini belum nampak menonjol dalam diri Jokowi serta rezimnya dalam 100 hari pemerintahan mereka. (*end)
Penulis: Dr. Syahganda Nainggolan