Ketiga, terhadap aset revaluasi. Perlu difahami bahwa aset yang di revaluasi itu bukan aset baru melainkan aset lama atau jadul yang kemungkinan besar aset tinggalan pemerintah penjajah Belanda. Tegasnya tidak ada aset baru alias itu itu juga. Jadi secara riil ekonomi ataupun manfaat ekonomi, tidak ada penambahannya, tidak ada yang Baru, yang ada hanya nilai rupiahnya saja di bengkakkan agar sesuai dengan harga harga kini. Dengan begitu belum tentu ada kaitannya atau sumbangan dari utang yang relatif baru dengan aset lama yang di revaluasi.
Tegasnya, sungguh tidak lazim mengaitkan hasil revaluasi aset lama untuk menjustifikasi utang baru. Cenderung manipulatif. Sekali lagi kalau berani jujur dan agar Apple to Apple, bandingkanlah utang sejak Sri Mulyani jilid I (2006) sampai dengan sekarang (2018) dengan aset yang dihasilkan dari utang tersebut. Harus spesifik agar tidak dikaburkan dengan semua aset. Saya yakin kesimpulannya Indonesia tekor.
Sebenarnya untuk menjustifikasi utang simpel saja. Yaitu efektivitas penggunaan utang dan kemampuan bayarnya. Seingat saya sejak Orba penggunaan utang kurang efektip karena banyak digunakan untuk projek projek study gombal alias menguap, tetapi tidak ada masalah dalam hal kemampuan bayarnya. Kalau sekarang, saya kira kedua ukuran pokok utang ini bermasalah. Penggunaan utang kurang efektip dan kemampuan bayarnya cepat atau lambat akan amat merepotkan APBN. Dan aset yang diandalkan pemerintah itu tidak akan banyak menolong.[]
Penulis adalah mantan Menteri Keuangan RI