Sebenarnya, untuk sekedar menghilangkan jejak kami di muka bumi, tidak perlu Tuan menyebut kami telah mati. Tanpa Tuan katakan hal itu, apa yang Tuan lakukan telah dengan sendirinya membunuh kami. Coba Tuan lihat gedung yang menusuk langit di sudut kota sana, atau mall-mall di sudut yang lain. Atau bahkan taman di tengah kota. Tuan bilang itu indah, megah, aman, bersih, dan berkeadaban. Ketahuilah, Tuan, apa yang Tuan sebut indah bagi kami sangat menjijikan; apa yang Tuan definisikan aman bagi kami itu kekacauan, yang Tuan bilang bersih bagi kami sama dengan kekumuhan. Tuan mengatakan aman tentang sesuatu yang kami rasakan sebagai ancaman. Kehidupan Tuan adalah kematian kami. Kami ini dari dunia lain, Tuan, yang pasti tidak pernah Tuan kenali. Kami ini memang payah. Jelek. Kumuh. Menjijikan. Tapi, itulah hidup kami, keindahan kami, keamanan kami, kebahagiaan kami.
Karena itulah, Tuan, kami masih hidup. Tepatnya, belum mati. Dan kami bukanlah ancaman. Bagaimana kami bisa mengancam Tuan, untuk menopang diri sendiri saja kami kepayahan. Tapi, keberadaan kami memang tergantung dari cara Tuan melihat kami. Kalau Tuan anggap kami mengganggu, pastilah makna kami adalah gangguan; jika Tuan definisikan kami ancaman, kami adalah ancaman, juga kalau Tuan anggap kami sahabat, sahabat pula predikat kami. Namun, itu semua hanya ada di dalam pikiran Tuan. Kami dapat diartikan apa saja. Sudah sejak lahir kami tidak bisa mendefinisikan diri sendiri. Kami ini memang payah. Jelek. Kumuh. Menjijikan. Itu definisi yang tidak pernah berubah dari Tuan, bukan.
Tapi, sekali lagi, kami belum mati, Tuan. Jadi, jangan Tuan tulis berita di koran bahwa kami dihidupkan kembali. Kami masih hidup, Tuan, masih punya nama. Kami masih becak, selamanya mungkin hanya becak.
Terima kasih. Salam buat Bang Anies Baswedan!
Stasiun Gambir, 27/01/18 [kk/wa]
Penulis: Dr. Acep Iwan Saidi, Budayawan Muslim asal Bandung