Di era Ali Murtopo sebagai tokoh sentral CSIS, lembaga ini menyusun konsep pembangunan Indonesia untuk masa 25 tahun pertama. Salah satu buku Ali Murtopo yang didisiminasi oleh CSIS berjudul “Akselarasi dan Modernisasi Pembangunan Indonesia”.
Maka keberpihakan AS bersama CSIS kepada Jokowi, tak bisa dicegah oleh siapapun. Tapi di 2019, baik situasi dalam maupun luar, berubah total.
Dalam negeri, ada anggapan, Jokowi gagal memenuhi janji-janjinya selama kampanye. Kegagalan ditebusnya dengan cara “blusukan”. Untuk waktu beberapa kali, “blusukan”-nya bisa diterima. Sebagai “kompensasi” Jokowi atas apa yang dijanjikannya di masa kampanye Pilpres.
Tapi seterusnya, setelah “blusukan” berusia 3 tahun, konstituen Jokowi pun mulai ada yang merasa jenuh. Apalagi yang tidak mendukungnya. Sebab bukan itu yang dibutuhkan.
Jokowi kemudian tampil sebagai sosok, figur yang berkepribadian baik. Kesan itu sangat kuat. Persoalannya berubah.
Nah yang dibutuhkan masyarakat dari seorang Jokowi sebagai pemimpin atau Presiden, bukan perubahan seperti itu. Negara yang menghadapi berbagai persoalan, tidak bisa atau tidak cukup dijawab dengan cara menampilkan seorang Presiden sebagai orang baik.
Saking baiknya, ada anggapan, Jokowi justru timbulkan persoalan baru. Yaitu dia tidak bebas memerintah. Jokowi tersandera. Presiden tersandera oleh orang-orang yang berutang budi padanya.
Tersandera, sebab dia tidak ingin menyakiti orang yang pernah membantunya. Dia tidak mau berseberangan dengan mereka.
Akibatnya yang menikmati kekuasaan bahkan kesejahteraan hanya Jokowi dan mereka yang “menyanderanya”. Sementara rakyat banyak menjadi korban. Jumlahnya tak sebanding. Rakyat yang menjadi korban relatif lebih banyak dengan mereka dimana Jokowi berutang budi.
Konsekwensinya muncul sikap yang menurunkan penilaian teradap kapabilitas dan integritas Jokowi sebagai pemimpin.