Pada era keterbukaan seperti sekarang, kejadian lebih dari 20 tahun lalu, tanpa disengaja mencuat ke permukaan. Yang intinya merefleksikan kekhawatiran atas potensi kolaborasi pengusaha RRT (yang komunis) dan konglomerat-konglomerat warga Indonesia keturunan Tionghoa.
Kolaborasi komunis RRT dengan konglomerat Indonesia, merupakan hal yang tak bisa dipungkiri. Faktanya antara lain terjadi Shanghai.
Di kota dagang pantai Timur RRT itu, sudah tumbuh sebuah kawasan yang bisa disebut “glodok”nya Indonesia.
Sejumlah pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa, banyak membuka usaha perwakilan di Shanghai.
Saking banyaknya, mereka membentuk asosiasi.
Pada satu periode, Ketua Asosiasinya sempat dipercayakan kepada suami Marie Pangestu, mantan Menteri Petdagangan RI di era SBY.
Kolaborasi seperti ini, acap kali dianggap hal sepele. Bahkan seakan tidak dianggap bisa beresonansi di Indonesia.
Nyatanya, tidak demikian.
Kolaborasi di Shanghai tersebut, justru menjadi semacam virus kecurigaan.
Oleh rakyat Indonesia – yang loyal terhadap tanah tumpah darah mereka, terus tumbuh kecurigaan terhadap pengusaha Tionghoa yang membuka usaha mereka di RRT.
Para loyalis – nasionalis yang berprinsip lahir dan matinya, harus di tanah Indonesia melihat sikap yang berbeda dengan prilaku yang ada di kalangan pengusaha keturunan Tionghoa.
Yang terakhir ini bisa hidup di dua dunia yang berbeda dalam waktu bersamaan : di negara yang menganut paham komunis (Tiongkok) maupun di Indonesia, dimana ideologi itu dilarang.