Memang di tengah menggunungnya hutang Indonesia novel itu seperti tiba-tiba ibarat ramalan. Apalagi struktur hutangnya berat ke pasar bebas. Bukan seperti hutang di zaman lama yang lebih multilateral antar negara.
Bersamaan pula dengan data yang dikeluarkan BPS bahwa jumlah orang miskin ternyata justru bertambah. Dan soal keadilan juga lagi hangat dipersoalkan.
Padahal ketika novel itu ditulis (2014, terbit 2015) kondisi Indonesia belum seperti itu. Maka kita harus menganggap novel itu peringatan yang baik.
Demikian juga bagi Amerika.
Gambaran tentang kekuatan baru Tiongkok memang tidak boleh diabaikan. Bukan hanya dari serunya novel itu. Juga sudah tergambar dari film baru yang amat laris di Tiongkok: Operation Red Sea.
Saya menontonnya minggu lalu. Di bioskop di Beijing. Khusus untuk menangkap gejala yang digambarkan novel Ghost Fleet.
Itu seperti gabungan antara film Rambo dan film kemenangan Amerika di Perang Teluk.
Versi Tiongkok. Kini Tiongkok sudah punya film macam Rambo versi mereka sendiri. Kejagoan bukan lagi seperti yang digambarkan dalam film silat Hongkong. Zaman Bruce Lee sudah kuno. Sudah ditinggalkan.
Kini penggambaran kekuatan baru Tiongkok sudah lewat Rambo gaya Tiongkok. Ditambah peralatan perang modern yang menjadi senjata pamungkas. Didukung artificial intelligence.
Gambaran kejagoan Tiongkok itu juga terlihat dari film yang lebih laris: Wolf Warrior 2. Saya juga menontonnya minggu lalu.
Di sini keramboannya lebih hebat lagi. Tak heran kalau Wolf Warrior 2 menjadi film terlaris dunia tahun 2017.
Dengan pendapatan 874 juta dolar. Wolf Warrior 2, untuk sepanjang sejarah film, hanya kalah dari Star Wars episode The Force Awakens (936 juta dolar). Wolf Warrior 2 jauh mengalahkan Titanic, Jurrasic World atau Avatar.
Industri film Hongkong dengan andalan kungfunya kini sudah ditinggalkan. Tiongkok yang baru, sudah pula merambah ke film. Yang menggambarkan era baru itu.
Menyaksikan Operation Red Sea dan Wolf Warrior 2, lalu mencermati novel Ghost Fleet rasanya tahun 2030 itu seperti di depan mata.
Padahal dua-duanya fiksi. (kl/theglobalreview)