Penulis novel tersebut, Peter Warren Singer, 43 tahun, nemang bukan sembarang ilmuwan. Dia meraih gelar doktor dari Harvard. Tulisan-tulisannya menyebar di semua koran besar Amerika. Mulai dari Boston Globe, New York Times, Washington Post sampai Los Angeles Times.
Pernah juga masuk tim sukses pencalonan Obama jadi Presiden Amerika. Dia sangat berpengaruh di lembaga think thank Brooking Institute di Washington DC. Lembaga yang sudah berumur 100 tahun lebih.
Dia dikenal juga sebagai anak muda dengan karir tercepat. Dan pikirannya cemerlang.
Bisa jadi novel itu memang warning dari seorang ilmuwan untuk negaranya. Agar waspada pada kemajuan pesat Tiongkok. Termasuk di bidang artificial intellegence (AI). Yang berbeda dengan di Amerika.
Di Tiongkok AI dipelopori oleh perusahaan-perusahaan raksasa. Dengan pendekatan bisnis. Bukan oleh pemerintah. Atau lembaga riset di bawah pemerintah.
Khusus di bidang AI ini pemerintah Tiongkok justru menunjuk empat raksasa IT-nya: Ali Baba, Tencent, Baidu dan iFlyTek. Untuk berada di front depan. Dengan kemampuan penyediaan dana riset yang begitu besar.
Mungkin makalah-makalah ilmiah PW Singer kurang dapat perhatian dari pemerintahnya. Peringatannya secara ilmiah mungkin tidak dianggap menarik. Maka Singer mengajak wartawan terkemuka, August Cole menuangkan pikiran ilmiahnya itu ke dalam karya fiksi. Lantas dia wujudkan dalam bentuk novel.
Maka kalau pun ada unsur dramatisasi menjadi sah. Dengan dalih novel toh memang fiksi.
Mungkin Singer juga tidak bermaksud memberi warning pada Indonesia. Bahwa dia menceritakan Indonesia akan berantakan pada tahun 2030 mungkin hanya untuk menambah dramatisasi.
Justru kita sendiri yang harusnya menganggap novel itu sebagai warning. Agar Indonesia jangan sampai jatuh menjadi negara gagal.