Terus, yang juga sangat penting adalah memboikot Makkah dan Madinah. Para penggagas dan pengikut Lamtara harus mulai memikirkan agar Anda tidak usah lagi pergi ke Makkah dan Madinah untuk melaksanakan ibadah haji. Sebab, kalau masih pergi ke sana, mau tak mau Anda akan menggunakan bahasa Arab, melihat tulisan Arab, jumpa orang Arab, jumpa sorban, jumpa janggut, jumpa unta, dlsb. Pusing Anda nanti!
Kemudian soal nama para pengikut Lamtara. Ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, menggganti nama-nama pengikut yang terlanjur memakai nama-nama Arab menjadi nama-nama asli Nusantara. Kedua, berhenti menggunakan nama-nama Arab seperti Muhammad Hanif, Abdul Kadir, Yahya, Said Aqil, Umar, Usman, Musthofa, Kamal atau Kamil, Faisal Assegaf, dlsb.
Tentu banyak nama-nama asli Nusantara yang bisa dipakai. Ada “Jaka” atau “Joko”, ada “Ken Arok”, “Ken Dedes”, ada “Gautama”, ada “Gajahmada”, dll. Tapi, banyak juga yang tak perlu diganti. Contohnya, Ade Armando, Denny Siregar, dsb.
Ok. Sekarang, siapa yang mau menjadi Nabi Nusantara?
Mungkin sudah bisa dimulai proses rekrutmennya. Saran saya, buat saja syarat-syarat untuk menjadi Nabi Nusantara itu antara lain menguasai bahasa pra-Islam, bahasa Sanskerta, dan bahasa-bahasa Timur.
Kok syaratnya begitu? Karena kemungkinan besar kitab suci Lamtara harus menghindarkan bahasa Arab seratus persen. Sama sekali tak boleh ada kata-kata Arab. Harus asli digali dari bahasa-bahasa Nusantara. Nah, dulu, orang Nusantara itu konon menggunakan bahasa asli (saya tak tahu apa namanya) sebelum Islam Muhammad SAW masuk ke negeri ini.
Dulu, penduduk asli Nusantara menyembah pohon, busut, batu, dsb. Mereka menganut animisme. Jadi, perlu digali bahasa yang mereka gunakan waktu itu. Harus kerja keras, tentunya.
Tapi, demi Lamtara, bolehlah berkorban. Supaya Islam Nabi Muhammad SAW bisa Anda reduksi menjadi Islam yang umatnya berblangkon, sembahyang pakai celana pendek dengan bahasa kuno atau Sanskerta. Atau, setidaknya sembahyang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa standar Islam Nusantara. [swamedium]
*Penulis: Asyari Usman, wartawan senior