Kalau para pengikut Lamtara masih bernabikan Muhammad SAW, sangatlah aneh. Berarti nanti “terpaksa” mengikuti arahan orang Arab. Bukankah Nabi Muhammad ada meninggalkan hadits? Nah, hadits-hadits dari Baginda itu diriwayatkan oleh orang-orang Arab. Dalam bahasa Arab. Kemudian, buku-buku tentang hadits banyak pula ditulis oleh orang Arab. Kitab-kitab karangan para ulama besar, semua dalam bahasa Arab.
Begitu juga kitab suci Islam, al-Quran, juga tak cocok untuk kenusantaraan Islam Nusantara. Kenapa? Karena, menurut konsep Lamtara, semua yang berbau Arab harus ditiadakan. Jadi, tidak pas kalau masih memakai al-Quran. Meskipun hanya terjemahannya saja. Sebab, terjemahan itu ‘kan secara akademis akan mencantumkan sumbernya, yaitu al-Quran. Jadi, akan mengurangi keaslian Islam Nusantara.
Terus, para penggagas harus mulai memikirkan sebutan “Islam” yang dipasangkan dengan “Nusantara”. Kata “islam” itu pun harus dicarikan bahasa asli Nusantaranya. Ada yang menyebutnya “selamat,” “slamat”, “selamet” atau “slamet”. Kata-kata ini pun masih berbau Arab. Seratus persen merupakan derivasi kata “islam”. Jadi, kata-kata di atas tidak nusantaranistis.
Kalau Islam Nusantara disebut “Selamat Nusantara”, masih belum murni betul kenusantaraannya karena kata “selamat” itu berasal dari kata “islam”.
Baik. Sementara Anda memikirkan ganti kata “islam” di dalam sebutan Islam Nusantara, kita lanjutkan ke pembahasan aspek lain.
Saya lihat sosialisasi Lamtara antara lain dilakukan dengan mempopulerkan Senam Islam Nusantara (SIN). Percayalah, cara ini tidak akan efektif. Sulit Anda menjualnya. Sebab, gerakan senam sudah terlalu banyak macamnya. Para pengikut senam, biasanya, akan cepat bosan. Lihat saja senam yoga, senam taichi, senam pocho-pocho, dlsb. Sebentar saja lenyap.
Sayang sekali kalau penyebaran konsep Lamtara mengandalkan gerakan senam. Keluar banyak biaya, hasilnya tidak ada.
Sekarang kita bicarakan soal rumah ibadah. Allah dan Rasul-Nya menyebut rumah ibadah Islam yang diturunkan kepada Rasulullah Muhamamd SAW sebagai “masjid”. Ini juga harus diganti. Harus dicarikan kata asli Nusantara untuk “masjid”. Misalnya saja ada kata asli Nusantara untuk menggambarkan ruangan luas, yaitu “pendopo” atau “pandopo”. Ada lagi yang asli yaitu “jambo”, yang berarti ruangan lapang yang beratap. Sayangnya kata “jambo” tidak terdaftar di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).