Berdasarkan “Survey 100” (masih ingat acara tebak berhadiah di TV?), pada umumnya orang melakukan pembelotan karena “belitan” atau “terbelit” sesuatu. Bisa terbelit hutang atau terbelit masalah.
Nah, kita sampai di paragraf tentang “belit”. Kata “belit” bermakna sesuatu yang melilit atau melingkari benda atau orang.
Kita ambil saja orang sebagai contoh. Bila seseorang kena “belit” (misalnya hutang, masalah legal, sosial, atau moral), maka sangat besar kemungkinan dia akan berusaha sekuat tenaga untuk lepas dari belitan itu.
Dalam situasi yang genting, dia tidak akan segan-segan melakukan pembelotan apa saja. Termasuk pembelotan ideologi, pembelotan dalam hubungan suami-istri, bahkan pembelotan aqidah. Bagi orang itu, yang penting dia bisa lepas dari belitan.
Jadi, tidaklah terlalu mengherankan kalau di depan mata Anda berlangsung pembelotan yang mencengangkan. Yang tidak Anda sangka membelot, telah melakukannya. Yang Anda rasa bukan “belut”, sekarang “belot”.
Kesimpulan: sekarang kita telah menemukan benang merah-kuning yang menghubungkan “belot”, “belut” dan “belit”. Yaitu, pem-BELOT belajar dari sifat BELUT karena ter-BELIT macam-macam masalah.
Mudah-mudahan tulisan tentang belut ini tidak berbelit-belit sampai membuat Anda pergi membelot ke tulisan lain. (*)
*Penulis: Syari USman, wartawan senior
(kk/swamedium)