Capres Pencitraan vs Capres Gagasan

Bandingkan dengan para pemimpin dan pendiri Republik ini. Dulu, para Bapak Bangsa itu sama sekali tidak mengenal praktik pencitraan. Soekarno, Hatta, Natsir, Sjahrir, Tjokro, dan para tokoh lainnya tidak menyebar baliho, membagi sembako, berswafoto dengan kaus oblong dan sandal jepit, dan yang semacamnya. Yang mereka lakukan adalah benar-benar bekerja dan berjuang untuk rakyatnya, kendati harus keluar-masuk penjara, dan atau hidup dengan keprihatinan dan kekurangan.

Para tokoh pergerakan itu bekerja dengan gagasan dan ide-ide besar. Ide Indonesia merdeka, lepas dari belenggu penjajahan, Indonesia yang berdaulat, adil, makmur, rakyatnya sejahtera. Mereka bersungguh-sungguh dan rela berkorban waktu, tenaga, air mata, darah, bahkan nyawa untuk mewujudkannya.

Sebaliknya, rekam jejak orang-orang yang ge-er alias gedhe rumongso di zaman now sejatinya nyaris tidak ada sesuatu yang membanggakan. Pejabat petahananya miskin prestasi. Serenceng janji saat kampanye di era sebelumnya sebagian besar terbang bagai debu ditiup angin kencang di siang yang panas.

Waktu itu, ada Capres yang berjanji tidak akan impor pangan, tidak bagi-bagi jabatan menteri, menyusun kabinet yang ramping dan diisi para profesional, ekonomi akan meroket September 2015, bakal membuka 10 juta lapangan kerja, akan mengutamakan pengusaha lokal dan mempersulit pengusaha asing, membeli kembali (buy back) Indosat, dan lainnya, dan seterusnya. Sayangnya, hingga hari ini semua itu baru sebatas janji-janji tanpa realisasi.

Sementara itu, mereka yang merasa layak menjadi Capres atau Cawapres justru banyak bergelimang dengan berbagai kasus hukum. Kita tentu belum lupa dengan idiom-idiom seperti skandal kardus duren, apel Washington-apel Malang, skandal bank Century, dan lainnya. Tapi, ya begitulah, orang-orang ini tetap saja dengan percaya diri terus melenggang ke gelanggang Pilpres.