Islam di barat, sebagai agama migran di sana, harus beradaptasi pada peradaban barat tersebut. Beberap pengusaha keturunan arab di Prancis dan Belgia, misalnya, meski membayar berapapun denda yang dikenakan kepada perempuan muslim terkena denda, sebagai bentuk empati, namun, akan sampai kapan pelarangan cadar ini, belum diketahui.
Di Indonesia, kesadaran baru ataupun “invention” atau “redifinition atas penutupan aurat wanita dalam Islam sangat gencar dilakukan sejak era 80an. Munim Sirry, orientalis liberal dari Notre Damme University of USA, yang membiayai 7 riset terkait agama di Indonesia saat ini, menyatakan bahwa kesadaran berhijab ini merupakan “silent revolution” selama puluhan tahun, yang didukung juga oleh fashion industry. Silent revolution karena hal itu ketika disadari ternyata telah berlangsung dominan.
Bercadar sendiri adalah konsep berhijab yang bukan hanya menutup seluruh tubuh kecuali tangan dan wajah, namun bercadar hanya membiarkan mata saja yang boleh terbuka buat wanita di ruang publik. Varian penafsiran soal hijab dikalangan ulama, meskipun mayoritas menganggap berhijab dengan jilbab adalah sesuai agama, sedangkan Cadar sebagai bentuk ekstrim, atau berlebihan, namun kesalehan orang-orang bercadar tidak dapat dikecilkan.
Konsep berhijab atau menutup aurat bagi wanita bukanlah kepentingan wanita itu sendiri, namun merupakan bagian konsep keluarga, di mana wanita selama ini mengambil peran (agency) membesarkan anak-anaknya, ketika suaminya fokus di luar rumah mencari nafkah. Dengan berhijab, wanita selain melindungi dirinya dari pergaulan terbuka, juga memberi pesan nyaman bagi suaminya yang terpisah sepanjang hari.
Penutupan wajah kecuali mata dan tangan, atau bercadar, merupakan tindakan wanita yang dapat difahami dalam perluasan atau ekstensi kenyamanan wanita dan keluarganya tersebut. Jika penafsiran agama yang mereka yakini mengaitkan ini pula sebagai hijab yang sempurna, tentu kita harus mengapresiasi hal tersebut, sebagai bentuk kesalehan wanita Indonesia, sesuai sila pertama Pancasila.
Di Indonesia, terlebih lagi, Islam adalah ajaran utama yang menaungi 80 persen penduduknya. Jika di barat Islam adalah pendatang, maka di Indonesia Islam adalah tuan rumah. Sehingga menjadi ganjil rasanya orang-orang bercadar dan bercelana cingkrang dianggap “outsider”, bukannya dilindungi dan dimanja oleh kekuasaan yang ada.
Kebangkitan Peradaban Islam
Vedi Hadiz, professor sosiologi dari Melbourne University dalam wawancaranya dengan Balairung Press, selain mengkhawatirkan populisme Islam ditunggangi oligarki pemilik modal, juga menunjukkan vacum nya narasi kelompok Kiri (sosialis) dalam menjawab ketidak adilan sosial yang menganga saat ini.
Sebelumnya, dalam riset yang komprehensip tentang “Populisme Islam di Indonesia dan Timur Tengah”, Hadiz yang melakukan pendekatan Socio-history dan political-economy, memperlihatkan kebangkitan Islam di Indonesia menjadi suatu fakta, meskipun di bawah Turki dan Mesir, dari ukuran pencapaian penguasaan kapital oleh orang-orang Islam.
Namun, riset Hadiz tentang populisme Islam dan Munim Sirry tentang “contending modernity” untuk “peaceful co-existence” menunjukkan bahwa kebangkitan Islam di Indonesia sudah tidak dapat dihancurkan lagi.
Kebangkitan Islam di Indonesia mempunyai rentang dari upaya mendominasi kultur, melawan neoliberalisme barat dan ketidakadilan sosial serta mendorong demokrasi tetap berkembang sebagai sistem politik. Cadar dan cingkrang merupakan simbol kultural dari kesalehan warganegara. Sedangkan demokrasi, partisipasi politik ummat Islam dalam pemilu bersifat total.
Melihat gejala atau fenomena ini, sebenarnya apa dan siapa yang dirugikan dari kebangkitan peradaban Islam di Indonesia?
Peradaban Islam, selain menentang dominasi kapitalisme, juga menentang sisi negatif liberalisme kehidupan, seperti free sex, Homosexual, pornografi, dlsb. Kontestasi simbol2 dan narasi Islam versus sisi negatif liberalisme terus berlangsung. Jadi kebencian terhadap kebangkitan peradaban Islam berpusat pada Kapitalisme dan ajaran negatif liberalisme itu.
Namun, negara sebagai wakil dari sebuah “kontrak sosial”, harus mempertimbangkan keinginan dominan dalam masyarakat, khususnya jika tidak bertentangan dengan Pancasila.