Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi diartikan sebagai bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya, gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban, serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.
Jauh sebelum pengertian itu muncul, istilah Demokrasi sudah lahir di Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Kata Demokrasi berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke-16, mengemukakan bahwa pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat (from people, for people, by people).
Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem demokrasi di banyak negara.
Secara umum, demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain.
Ketiga jenis lembaga melaksanakan kewenangan masing-masing. Lembaga-lembaga pemerintah seperti presiden dengan dibantu menteri dan jajarannya memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif. Sementara lembaga-lembaga pengadilan memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan judicatif. Dan lembaga perwakilan rakyat – DPR di Indonesia – memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif.
Pemerintahan demokratis diberi kewenangan membuat keputusan melalui mandat yang di peroleh melalui pemilu. Selanjutnya warga Negara melalui hak memilihnya yang periodik dapat terus menjaga agar pemerintahnya bertanggung jawab kepada masyarakat. Dan jika pertanggungjawaban itu tidak diberikan, maka warga Negara dapat mengganti pemerintahan melalui mekanisme demokrasi yang tersedia.
Walau harus diakui corak dan model demokrasi beragam di setiap negara, namun secara umum, rakyatlah yang memegang peranan penting dalam proses demokrasi. Merekalah yang diserahi tanggung jawab memilih siapa wakil yang mereka kehendaki melalui proses pemilihan baik langsung maupun tak langsung. Aspirasi merekalah yang harus dilaksanakan oleh wakil-wakil terpilih.
Unsur berikutnya dan bahkan lebih mendasar dalam demokrasi adalah kebebasan, yaitu kebebasan berekspresi, berkumpul, berserikat, dan media (Koran, radio, TV). Kebebasan memungkinkan demokrasi berfungsi.
Luar biasanya, sistem demokrasi sudah dianut oleh mayoritas negara di dunia. Dengan berkiblat ke Negara Super Power Amerika Serikat, negara-negara di dunia – terutama negara berkembang – berlomba-lomba berbenah dan mengadopsi sistem ini dengan corak dan warna yang disesuaikan dengan karakter bangsa masing-masing.
Satu point yang perlu dicermati dari sistem demokrasi adalah penentuan calon pemimpin atau wakil rakyat yang kelak menyuarakan kehendak rakyat. Demokrasi tidak mengatur detil dari point ini. Semua diserahkan pada negara atau wilayah guna menyesuaikan sesuai dengan kepentingan. Mengingat azas kebebasan yang berlaku dalam sistem demokrasi, maka setiap warga negara punya hak dipilih dan memilih sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.
Celakanya jika dalam penetapan ini bermuatan kepentingan segelintir orang atau kelompok, maka akan dibuat kriteria selonggar mungkin. Ini yang terjadi ketika Aburrahman Wahid (Gus Dur) dicalonkan sebagai presiden RI. Atau standar minimum pendidikan SMA pada penetapan calon anggota legislatif indonesia. Itulah muncul kekhawatiran dari beberapa kalangan akan munculnya sosok-sosok boneka. Mereka yang sebenarnya jauh dari kompeten namun memenuhi syarat minimal berhak mencalonkan diri.
Sisi lain yang tak kalah menakutkan adalah proses pra pemilihan umum. Mengingat calon harus memenangkan suara terbanyak untuk bisa duduk di tempat yang ia inginkan, maka mau tak mau harus ada usaha untuk merebut hati rakyat. Kampanye sebagai mekanisme ‘beriklan’ harus dimanfaatkan betul.
Semua kita tahu bagaimana gegap gempitanya kampanye. Mulai dari famplet, selebaran, panggung dangdut, iklan televisi, dsb. Berbagai janji diumbar di sana. Intinya sama: Pilih Saya. Karena saya pantas.
Mereka yang lolos “fit and Proper Test” ini dan berkampanye, membutuhkan dana yang tidak sedikit. Hanya beberapa gelintir saja yang menggunakan dana dalam hitungan ratusan juta. Selebihnya, membutuhkan dana hingga miliaran. Tentu saja hanya segelintir saja yang punya, mampu dan mau mengeluarkan dana sebesar ini.
Kalaupun tak punya dana sebesar itu, tersedia jalan lain. Diperbolehkan menggalang dana dan mencari sponsor dari individu atau kelompok. Dan tentu saja harus ada ‘traksaksi’ atau semacam kesepakatan antara kedua belah pihak. Intinya harus ada simbiosis mutualisme antara kerduanya.
Maka jadilah kampanye tidak sekedar pra pesta demokrasi melainkan pesta bisnis di sisi lain. Inilah point berbahaya dimaksud. Celah ini sangat dipahami betul para pemilik modal. Mereka yang ingin mempertahankan hegemoni bisnisnya rela merogoh kocek lebih dalam guna mendukung salah satu calon yang dianggap menguntungkan bisnisnya kelak.
Ini pulalah yang dimanfaatkan dengan jeli oleh para penganut “Tata Dunia Baru” yang dimotori oleh zionis yahudi. Dalam Protokol Zion Protokol X butir sebelas disebutkan, “Pada masa mendatang kita akan menentukan tanggung jawab presiden.”
Inti dari protokol di atas adalah bagaimana agen-agen mereka berusaha sekuat tenaga dalam menguasai negara dan mengendalikan presiden. Dan sebagaimana kita ketahui bahwa lebih dari ¾ bumi menggunakan demokrasi sebagai sistem untuk memilih presiden dan kampanye sebagai mekanisme mencari dukungan. Bisa dibayangkan jika presiden-presiden yang lahir itu adalah mereka yang menggunakan dana yang dikucurkan oleh pemilik modal yahudi. Tentu mereka harus mentaati semacam LoI (letter of intent) atau MoU (Memorandum of Understanding). Mereka juga akan dituntut balas budi ketika sudah mapan di kursinya.
Dan presiden bukanlah satu-satu penentu kebijakan sebuah negara. Di Indonesia misalnya, ada DPR. Di Amerika ada senat. Mereka para wakil yang duduk di sana pun tak luput dari jerat mematikan tersebut. Maka jadilah mereka tak ubahnya boneka dan wayang-wayang yang dikendalikan oleh si pemilik modal.
Di Amerika, Koran Washington Post pada 2003 menghitung, 60 persen dari dana kampanye para calon presiden Demokrat berasal dari pengusaha Yahudi. Jerusalem Post pada 2000 melaporkan: Yahudi menyumbang 50 persen dana kampanye Bill Clinton pada 1996.
Obama sendiri saat kampanye didukung penuh oleh Yahudi. Situs surat kabar Israel Haaretz, Rabu (22/10), memuat laporan tentang tokoh-tokoh Yahudi AS yang memainkan peran penting dalam proses pemilu dan kampanye presiden di Negeri Paman Sam itu dibawah judul “36 Jews Who Have Shaped the 2008 U.S. Election”.
Dari 36 nama tersebut terdapat nama-nama penggalang dana kampanye bagi Obama yaitu: Sheldon Adelson seorang Republikan, neokonservatif dan seorang ‘mega-donor’, Sherry Lansing penggalang dana dan donatur utama Partai Demokrat, pernah menjadi perempuan pertama yang memimpin Paramount, salah satu studio film terkemuka di Hollywood, Eli Pariser memimpin situs MoveOn.org, situs advokasi online beraliran liberal yang menggalang dana untuk kandidat presiden dari Partai Demokrat, Penny Pritzker ketua nasional bidang keuangan kampanye Obama, seorang milyader berasal dari keluarga Yahudi yang dikenal kerap menjadi donatur besar, Denise Rich mantan istri milyader March Rich, seorang penggalang dana terbesar bagi Partai Demokrat, Barbra Streisand penyanyi terkenal yang menjadi ikon Yahudi-liberal dan penggalang dana bagi Yahudi, mendukung Obama dan berhasil menggalang dana sebesar 25.800 dollar dari kalangan selebritis Hollywood.
Selain dana, yahudi memainkan peran penting dalamm mendongkrak popularitas calon yang di dukung. Melalui media massa, terus ditiupkan apa saja yang bisa membuat si calon meningkat elektabilitasnya. Mereka tahu betul bagaimana dasyatnya peran media massa. Dalam Protokol XII point 3 disebutkan: “Kita akan memperlakukan pers dengan cara sebagai berikut: peran apa yang dimainkan oleh pers sekarang ini? Pers berfungsi membangkitkan dan membakar berbagai keinginan yang diperlukari untuk mencapai tujuan kita atau bisa juga untuk melayani tujuan egois dari kelompok-kelompok.”
Melalui media-media yang mereka punya, si calon dapat dengan mudah memenangkan hati rakyat. Dapat dengan mudah pula memlintir fakta untuk kemudian menjatuhkan lawan-lawan politiknya.
Di Amerika maupun di Inggris dan negara barat lainnya, demokrasi tengah menjadi obyek telaah. Demokrasi sering kali dikatakan sedang meluncur menuju sistem oligarki (bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang oleh segelintir kelompok elit kecil). Bahkan, ada yang mengatakan bahwa demokrasi sedang bermetamorfosis menjadi otokrasi (suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang oleh satu orang)
Uang dan kekuatannya sering menjadikan proses pemilihan umum menjadi tidak fair. Afiliasi kekuatan militer dan industri menjadi sangat digdaya, terlebih setelah mengadopsi semboyan “perang melawan terorisme”. Lobi dan korupsi mencemari berbagai proses pemerintahan. Singkat kata, demokrasi tengah berada dalam kondisi yang tidak baik alias sakit. (Simon Jenkins, mantan editor The Times, Guardian, 8 April 2010).
Analisa Simon Jenkins di atas memberikan gambaran jelas tentang cacat demokrasi. Selain prosesnya sering tidak fair, mekanisme dan hasilnya pun tak jarang menimbulkan petaka. Namun sayangnya kehebatan media dan ‘marketing’ demokrasi yang dimiliki tangan-tangan tersembunyi, membuat demokrasi seolah batu karang gagah yang tak tergoyahkan.
Di sisi lain, pelaku-pelaku politik yang sudah jauh tenggelam dalam dahaga duniawi dan kekuasaan semakin banyak bermunculan. Individu hasil didikan tangan-tangan inilah yang akan dijadikan boneka dan atau wayang.
Inilah cacat bawaan dan sisi gelap demokrasi yang sudah banyak memakan korban. Pelan tapi pasti, dunia saat ini sedang berjalan ke arah proses destruktif massal. Satu per satu negara teracuni. Satu per satu pula negara-negara tersebut dikuasai secara kasat mata melalui tangan-tangan tersembunyi lewat mekanisme pemilu dalam sistem demokrasi.
Mari kita benahi sistem yang sudah terlanjur rusak ini. Tidak ada kata terlambat. Sesunguhnya pertolongan Allah amat dekat. Lakukan apa yang bisa kita lakukan. Bukan saatnya lagi berbantah dalam urusan yang tidak esensial. Toleransi dan kerja sama sambil bersinergi membesarkan Islam dalam kerangka Ukhuwah Islamiyah dan dalam koridor La ilaha illallah.
Saatnya kita terbangun dan sadar apa yang terjadi. Tersadar bahwa ada jerat halus di leher kita.
Abu Azizah <[email protected]>