Buzzer, Makhluk Pemecah Belah Bangsa

Namun apa yang terjadi sekarang bukanya pemerintah yang dikontrol malah sebaliknya, para buzzer memberikan kontrol secara over pada para pengkritik pemerintah, lebih dari itu kalimat atau diksi yang tak etis, berupa cibiran dan makianpun dilontarkan. Bahkan, masalah pribadi para kritikus juga didengungkan sebagai bagian gerakan demagog agar publik juga ikut mendeskriditkan para kritikus-kritikus pemerintah.

Buzzer memiliki kekuatan yang luar biasa karena mereka dibayar seperti pernyataan buzzer yang bernama Abu Jandal. Abu Jandal membirikan kesaksian kalau beliau sebagai buzzer telah dibiayai atau digaji dengan jumlah yang fantastis. Untuk memperkuat tesis di atas telah ditemukan juga anggaran Rp 90 miliar/tahun di Kementerian Kominfo yang dialokasikan untuk buzzer atau influencer.

Jika fenomena buzzer dan anggaran Rp 90 miliar ada korelasi yang kuat, maka sesungguhnya demokrasi yang dibangun dengan kebebasan berbicara dan ekspersi ini telah dibajak dan dihianati oleh para buzzer dan kekuasaan. Hal itu kita bisa katakan karena ada yang kontradiktif interminus dalam dinamika demokrasi di negeri ini.

Di satu sisi kita diminta untuk bebas berpendapat, tapi di sisi lain ada gerakan character assassination oleh para buzzer. Bahkan, ada jebakan buzzer pada kritikus, bila kritikus diangap menghina pada pemerintah maupun lingkaran pemerintah, maka akibat dari reaksi atau merespon para buzzer, konsekuensinya adalah penjara dan ini telah terjadi berkali-kali terhadap para pengkritik kekuasaan.

Gerakan pembunuhan karakter oleh buzzer terhadap kritikus banyak terjadi, mereka melakukan hal tersebut dengan cara penyerbuan bersama-sama dengan kata-kata dan kalimat yang negatif, tidak etis, rasis, fitnah atau hoax. Bahkan secara ramai-ramai para buzzer mempersonifikasi kritikus sebagai kaum intoleran, radikal dan teroris, tiga kalimat ini menjadi jurus jitu para buzzer dalam melemahkam kaum kritikus. Dan hal itu sekarang terjadi pada Bapak Din Syamsudin mantan Ketua Umum PP Muhammadiya yang moderat dan moderen.

Selain kapital, buzzer juga di suplay data-data untuk mendukung gerakan character assassination seperti halnya yang terjadi pada begawan ekonomi kita Kwik Kien Gie dan Rizal Ramli. Mereka sebenarnya hanya memberikan kritikan dan masukan yang konstruktif pada pemerintah. Namun apa yang terjadi pada beliau, respon para buzzer yaitu dengan menghujam cacian, makian, cibiran, hoax, dan fitnah bahkan persoalan pribadipun diangkat di publik. Padahal tidak ada kaitanya dengan konten kritik beliau.

Dengan kekuatan yang mereka miliki, buzzer seringkali melakukan sikap yang kontradiksi, mereka suka memberikan penafsiran sendiri tentang beberapa diksi yang memiliki resistensi tafsir. Dengan keleluasaan yang dimiliki buzzer mudah menjustifikasi lawan politik kekuasaan sebagai kaum radikal, intoleran dan teroris.

Hal ini sangat membahayakan kehidupan sosial kita dalam berbangsa dan bernegara. Secara prinsip kita semua bersepakat bahwa gerakan intoleran dan radikalisme harus kita lawan apapun latar belakangnya. Cuman kita juga tidak boleh menjadikan diksi radikalisme dan intoleran sebagai alat politik untuk memukul kritikus atau oposisi, itu namanya fallacy over generalisir.

Masa orang hanya berbaju kokoh dan kopyah putih sudah dijustifikasi sebagai golongan intoleran, inikan sangat picik pemikiranya. Sampai Cak Nun dan Pak Din Syamsuddin tokoh pengagas Islam moderatpun di fitnah sebagai kaum radikal ini bagian dari kekacuan berpikirnya buzzer.