Apakah mereka memperoleh bayaran? Entahlah, tetapi secara temporal dalam laporan Oxford terbilang biaya kerjanya di Indonesia dapat menghabiskan budget operasional hingga 50 miliar rupiah. Tentu ada pula elemen fans politik yang bersifat sukarela dan sangat militan dalam hal itu, tidak bisa dipungkiri memang ada.
Kelompok ini menjadi garda terdepan pembela kekuasaan. Dari barisan pengagum, simpatisan hingga loyalis yang fanatik. Bertindak serta berperan dari sebelumnya identik sebagai supporter layaknya fans club, kemudian berperilaku menjadi hooligans.
Siap bertempur dengan mereka yang tidak sependapat. Terlebih dalam posisi mendapat kemenangan. Perlakuan hukum yang seolah berpihak dan tidak seimbang, juga semakin memperkuat keyakinan kelompok ini.
Sebagian di antaranya merupakan mantan jurnalis, bahkan mengolok-olok media mainstream, karena sesungguhnya peran media mainstream juga tipikal dengan buzzer untuk kepentingan ekonomi politiknya. Bahkan para pendengung, menjadi pelindung aktif kekuasaan manakala partai-partai politik terlihat cuci tangan dan vakum dari urusan isu-isu publik.
Sekurangnya, media mainstream memiliki tata laku dan kode etik serta peraturan legal formal yang meregulasi dirinya. Kurasi, verifikasi dan prinsip cover both side menjadi panduan media arus utama. Hal ini yang hilang pada media sosial kelolaan buzzer dengan sifat opini sepihak.
Matinya Kepakaran dan Demokrasi
Mengambil pemikiran Tom Nichols dalam The Death of Expertise, maka diperlukan literasi publik untuk dapat melihat serta memastikan kredibilitas sumber informasi. Selain itu, juga perlu untuk menilai secara kritis logika dari informasi yang disampaikan. Disini letak kesulitannya, ketika bungkus emosionalitas dipergunakan.
Maka peran para pakar kehilangan relevansi di tengah kepungan para pendengung. Media mainstream menjadi terlihat kalah cepat dan kurang lincah bergerak. Di dunia digital, sesuai Baudrillard, tercipta simulacra, ruang simulasi yang seolah-olah, menjadi hiperrealitas yang terlepas dari fakta faktual.
Disitulah peran buzzer mengkonstruksi realitas sesuai dengan yang hendak diwacanakan sebagai diskursus publik. Terlebih dalam upaya memberikan perlindungan bagi kekuasaan. Pada titik akumulatif, sikap over protektif buzzer atas kekuasaan dapat mengakibatkan sikap anti kritik, serta menimbulkan mistifikasi kekuasaan itu sendiri, kemudian seolah menjadi sumber kebenaran tanpa cacat.
Sampai pada titik tersebut, maka kian nyata ancaman bagi demokrasi. Konsekuensinya, buzzer tidak bisa dianggap sebagai hal biasa saja, terlebih berperan aktif dalam menciptakan polarisasi, dengan terus menggosok posisi berbeda, terbilang membahayakan.
Mengutip Steven Levitsky & Daniel Ziblat, dalam buku How Democracy Die, indikator pemerintahan masuk kedalam wilayah otoritarian ada dalam beberapa kategori, termasuk diantaranya (i) lemahnya komitmen pada aturan demokrasi, (ii) peran aktif mendelegitimasi pihak oposisi, (iii) toleransi pada penggunaan kekerasan dan (iv) pembungkaman masyarakat sipil serta media. Hal-hal tersebut mengakibatkan demokrasi menjemput ajalnya.
Opsi solusinya adalah perbaikan tata kelola partai politik, disertai dengan pembenahan sistem politik hingga mencerdaskan partisipasi publik. Terbukanya celah ruang bagi buzzer adalah wujud atas kegagalan edukasi rasional seluruh stakeholder di panggung politik.
Kita patut khawatir dengan masa depan demokrasi, berhadapan dengan kerja-kerja buzzer. Maka bila kekuasaan tidak mampu mengendalikan hal tersebut, bukan tidak mungkin justru mengakibatkan komplikasi bagi tubuh kekuasaan itu sendiri. Mulailah waspada, bisa jadi buzzer bersatu dan tidak bisa disalahkan! (*end/sumber)
Penulis: Yudhi Hertanto