Problemnya, buzzer kerap gagap mengantisipasi isu. Pilihan narasi dalam isu yang diangkat seolah seragam dan tipikal. Terkesan membangun argumen pembelaan yang timpang. Pada kajian post truth, hal ini mampu dipahami karena fakta rasional tertutupi oleh aspek emosional.
Misinformasi dan Disinformasi
Dalam hasil penelitian Oxford tersebut, diketahui bahwa sosial media di antaranya Facebook dan Twitter kerap kali menjadi sarana bagi kepentingan kekuasaan untuk melakukan manipulasi informasi.
Tidak salah bila Oxford menggunakan disinformasi, karena kekeliruan informasi akan menghasilkan persepsi sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh penyebar informasi. Dalam tataran lanjutan, istilah disinformasi berasosiasi pada kabar bohong alias hoaks.
Pilihan kata disinformasi, menempatkan persoalan kesengajaan untuk menciptakan bias pemahaman. Skemanya bisa dengan menarasikan sebuah informasi yang kurang lengkap. Disinformasi yang merupakan tindakan sadar dengan sengaja kemudian ditangkap secara emosional dan dipercayai, menciptakan misinformasi.
Sesuai laporan Oxford, format yang dipergunakan untuk melakukan manipulasi informasi, adalah dengan penciptaan konten palsu, mengamplifikasi konten tersebut, hingga me-report konten berlawanan secara masif. Pekerjaan itu bisa dilakukan melalui agensi tangan kekuasaan, partai politik hingga masyarakat sipil.
Tujuan dari berbagai aktivitas informasi yang menyesatkan tersebut diarahkan untuk menyebarkan informasi yang pro-pemerintah atau selaras kepentingan partai. Selain itu, dipergunakan untuk menyerang kubu oposisi, termasuk mengalihkan perhatian publik dari pelbagai isu kritis.
Pada tingkat yang membahayakan dapat menstimulasi polarisasi sosial, diantaranya untuk menekan partisipasi publik, termasuk dengan melakukan pelecehan personal individu atau kelompok lain yang berbeda pendapat.
Buzzer dan Media Mainstream
Ruang digital memang menghadirkan efek echo chamber sebagaimana ruang gema dengan memiliki kemampuan untuk memperbesar efek paparan informasi. Keberlimpahan informasi di dunia maya menciptakan kebingungan publik sebagai audiens.
Di situasi tersebut, algoritma dari platform sosial media juga membentuk filter bubble yang memerangkap kita untuk informasi sejenis yang kita sukai, dan hal itu akan terpapar langsung pada news feed sosial media kita. Ketika media mainstream bertindak partisan, buzzer memperoleh kesempatan setara di jagat digital.