Putra Sulawesi sebelumnya yang muncul di ruang perjuangan hukum adalah Said Didu kini Ruslan Buton. Keduanya sama berhadapan dengan kekuasaan politik. Rezim yang dinilai otoriter dan jauh dari aspirasi kerakyatan. Seruan atau himbauan agar Presiden mengundurkan diri memiliki landasan hukum Ketetapan MPR No VI/MPR/2001. Jadi bukan tak berdasar. Apa yang dihimbaukan dengan “suara agak keras” oleh Ruslan Buton itu hanya gaya saja.
Jika proses berlanjut, dan dukungan agar Buton dibebaskan tak berhasil, maka publik akan dibawa ke aras “pertunjukkan” politik dan hukum yang menarik. Seorang mantan prajurit yang masih berjiwa prajurit tampil heroik memperjuangkan keyakinan akan perlunya Presiden mengundurkan diri karena ketidakmampuan mengatasi krisis ekonomi, korupsi, tenaga kerja asing, bahkan komunisme. Berjuang membuktikan hak hak konstitusional yang semestinya dilindungi oleh hukum.
Disadari atau tidak memang negara ini butuh orang berani, mandiri, dan yang selalu teguh beramar ma’ruf nahi munkar demi kebaikan bangsa dan negara. Tidak membiarkan kehidupan ekonomi, sosial, dan politik yang terus melemah digerogoti oleh rayap-rayap korupsi dan perbudakan asing. Kepura-puraan dalam memperkaya diri, keluarga, dan kroninya.
Ruslan Buton adalah bagian dari fenomena perlawanan itu. (*)
Penulis: M. Rizal Fadillah