Bung, Saya Tidak Paham

Eramuslim.com – Bung. Begitu kami saling menyapa selama ini. Ada tiga sahabat yang saya sapa dengan sapaan “Bung”. Mereka pun menyapa saya dengan sapaan yang sama, “Bung”. Tiga sahabat itu: satu  teman sekolah menengah pertama, satu  teman kuliah, dan satu lagi teman setelah bekerja. Yang terakhir, yang paling muda di antara keduanya. Yang juga berarti lebih muda dari saya.

Tidak tahu persisnya, mengapa kami saling menyapa dengan sapaan “Bung”, seperti di zaman revolusi perjuangan saja. Yang jelas, kami nyaman dengan saling menyapa “Bung”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “bung”, berarti “abang.”

Sapaan “Bung” itu mula pertama digunakan setelah terbentuknya Permoefakatan Perhimpoenan-perhimpoenan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI), 17-18 Desember 1927 di Bandung. Bung Karno-lah yang memopulerkan sapaan “Bung” itu. “Dipanggil ‘Bung’ (panggilan akrab kepada saudara) sesuai anjurannya…” (Parakitri T Simbolon, Menjadi Indonesia, 2006, hlm. 363). Mungkin, sama dengan “kamerad” sapaan akrab dalam Revolusi Rusia.

Ada kisah lain. Suatu hari Bung Karno menginginkan dibuat sebuah poster untuk memberikan semangat pada kaum muda. Affandi, yang sejak zaman perjuangan dikenal sebagai pelukis, lalu membuat poster. Yang dijadikan model untuk lukisannya adalah Dullah, yang juga seorang pelukis. Dalam poster itu, digambarkan seorang pemuda berteriak, kepala menoleh ke kanan, tangan kanannya memegang bendera  merah putih, dan kedua tanganya ada rantai putus….Oleh Chairil Anwar, seorang penyair, diberi kata-kata “Boeng, Ajo Boeng”.

Sekarang ini, memang, bukan lagi zaman revolusi perjuangan, tetapi tetap zaman perjuangan. Dulu berjuang untuk kemerdekaan bangsa, bersama-sama mengorbankan segalanya, termasuk nyawa, demi lahirnya negara Indonesia. Sekarang berjuang bersama untuk menghentikan penyebaran Covid-19.