Bahwa ibu Annelies yang seorang Nyai, Ontosoroh alias Sanikem Sostrotomo (Sha Ine Febriyanti), justru yang memegang kendali sebuah bisnis perkebunan, Boerderij Buitenzorg di Wonokromo milik pasangan sang Nyai seorang Belanda, Herman Mellema (Peter Sterk).
Herman justru lebih banyak foya-foya. Mabuk-mabukan hampir saban hari di rumah pelesir Baba Ah Tjong (Chew Kin Wah). Robert Mellema (Giorgino Abraham), kakak Annelies, setali tiga uang. Enggan meneruskan sekolah dan memandang hina Minke sebagai kalangan bawah bumiputera.
Hubungannya dengan gadis Indo itu turut jadi perhatian orangtua Minke yang seorang Bupati Bojonegoro. Ayah Minke (Donny Damara), menegurnya dengan keras karena menganggap Minke meninggalkan budaya dan tradisi Jawa. Sementara Minke hanya bisa curhat pada ibunya: “Saya hanya ingin menjadi manusia bebas yang hidup di bumi manusia dengan segala perkaranya”.
Kembali ke Wonokromo, Minke mulai dihadapkan dengan perkara yang sudah lama mengganggu hatinya. Tak lain antara jurang pemisah antara kaum yang “terperintah” (bumiputera) dan “memerintah” (Eropa). Baik soal kasus kematian Herman Mellema dan hak asuh Annelies dan harta waris Herman yang digugat putra Herman dari istri pertama, Maurits Mellema (Robert Alexander Prein).
Bagaimana kelanjutannya? Baiknya Anda tonton sendiri film berdurasi 172 menit yang akan tayang resmi di bioskop-bioskop tanah air mulai 15 Agustus 2019. Film yang menurut Hanung sangat kontekstual dengan kondisi di Indonesia saat ini.
“Film ini bercerita tentang kata modern pertamakali keluar di Hindia Belanda. Itu sangat relate dengan kaum milenial karena kata-kata milenial sendiri baru keluar belakangan ini. Kegalauan Minke sama halnya dengan kegalauan anak-anak muda saat ini. Tonton film ini karena film ini berbicara tentang Indonesia pada masa masih embrio,” ujar Hanung kepada Historia di sela gala premier celebrity Bumi Manusia di Epicentrum, Kuningan, Jakarta, Senin (12/9/2019) malam.
Blunder Film
Hanung mengakui proyek filmnya merupakan film “berat”. Ia menggali dari nol novel Pramoedya untuk bisa meramunya hingga bisa diterima kaum milenial yang dirasa sulit menerima film dengan bobot berat. “Tantangannya adalah waktu. Untuk mendapatkan karakter Minke, sakitnya Minke itu tidak bisa 2-3 bulan, harus tahunan tapi mana ada waktunya,” lanjutnya.