Eramuslim – Dktum “Islamofobia”. Diktum ini dalam dua dekade terakhir, telah membuat kita tak bisa tidur nyenyak. Islam dan pemeluknya kerap dipersalahkan, disudutkan, dan dijadikan stempel untuk hal-hal yang destruktif. Islamofobia akan selalu menjelma branding topic yang tiada henti.
Yang paling mutakhir dan berhubungan erat secara sublim dengan tradisi serta situasi keberagamaan kita adalah masalah tuduhan telah hilangnya toleransi, terutama dalam tradisi kehidupan umat beragama, di negeri ini. Tudingan sepihak yang sarat nuansa insinuasi itu muncul di forum tahunan HAM PBB.
Banyak di antara kita yang memiliki keyakinan sama bahwa tudingan itu telah sekian lama menjelma menjadi sebuah mindset di benak mereka, tetapi tengah menunggu justifikasi dari dalam negeri Indonesia sendiri. Laporan seputar Ahmadiyah, pendirian gereja Yasmin, Irshad Manji, dan Lady Gaga belakangan dijadikan alat melegalkan tudingan itu.
Di luar tema-tema itu, belakangan harmoni umat terancam tercabik-cabik lagi gara-gara diterbitkannya sebuah buku yang di beberapa halaman memuat hinaan serta pelecehan membabi buta terhadap Nabi Muhammad SAW. Beruntung aparat kepolisian segera mengambil tindakan dan pihak penerbit menyatakan penyesalan mendalam. Sehingga dengan begitu, kasusnya langusng diproses secara hukum.
Kini, sebagaimana selalu kita yakini akan datangnya kebenaran, terbitnya buku tersebut justru menunjukkan belangnya sendiri bahwa tudingan intoleransi Dewan HAM PBB kepada Indonesia tidak benar karena yang terjadi malah sebaliknya.